Selasa, 14 Juli 2009

Tribute to the lost-real-president...

I’m not trying to preach you with boring political analysis in this free-writing. But so sorry to bother you with my potentially disturbing comments for our most likely new elected president. It’s kind a hard to skim my sadness and sorrow to finally recognize that no one can contend undefeatable charisma of incumbent president SBY, particularly for individuals decided to vote for JK who I think has more original and fresh idea to overcome this long lasting economic calamity. But this is democracy we believe, democracy never promises to bring the best person to the presidency but it promises to bring the most liked one. And today, no chance not to believe it.

I’m a voter who is bought by JK campaign and ideas. I was so shocked when for the first time I watched Sujiwo Tejo (Golput Seumur Hidup!) in JK’s presidential campaign advertisement explicitly stated his support for him. Buya Syafi’i Ma’arif, one of the elder of Muhammadiyah, also commented JK is the real president of Indonesia, and so do long list of honorable figures of this nation. It portraits the degree of JK’s electability in the popular nation figures’ eyes.
I was not trying effusively to search who i would vote for, but i could identify someone introducing ‘different’ ideas in accordance with his belief and efforts since he started his political career, and it was JK. He talked about independency and dignity of our nation, he shouted for the need of youngsters like us to have greater access to begin new businesses. He called leaders to move faster in making decision in the age of economic depression we‘re facing today. And above all, he’s not someone who is ‘jaim’ in front of media; he is so natural and amazingly honest. And he mentioned his love to national product by giving example of wearing shoes made by Cibaduyut shoe makers.

Imam Prasojo, one of well-known national political commentator, said that we have to thank to JK of coloring the latest general election process by his ‘unevenness’. He was the only candidate who bravely criticized SBY and openly debated his 2004 election companion in official presidential debates held by KPU. He came with outstanding and easy going public speaking skill; all debaters in this nation will probably agree with me that he is the best debater within three candidates. He is funny, simple, but clear. He said what he believed as a right thing regardless whether people will like it or not. That’s the true leader supposed to speak, telling the ‘truth’ not what ‘sounds true’.

Now is the time to be realistic and humbly accept the fate. Quick counts show SBY-Boediono is leading with 61 % votes. The number is predicted stable and nearly similar with KPU official tabulation result. If it’s true, it means no hope for JK who only get 13 % votes. This is how democracy works, and this particular ‘God’ had chose its messenger to lead its lost sheep in the next five years.

As the not-taht-fanatic supporter of the defeated candidate i can only say, “Congratulation!” to the winning candidate. And with all respect i do hope SBY can continue his leadership with stronger and more effective governance. It’s going to be countless pride for us if SBY willingly considers programs JK had offered in the campaign period: continuing BLT, ‘Mampu’ program (Subsidy for entrepreneurs), and build ten thousand megawatt power plan to support the growth of domestic manufactures. Those programs are substantial to empower our micro economy and cover basic necessities of grass root society. And may God grant SBY and his cabinet with less natural disaster and transportation accident...Amin!

Label:

diposting oleh Rangga Dian Fadhillah @ 04.40   0 Komentar

Rabu, 08 Juli 2009

Begini Ceritanya (Part 2)...

Just Love (Scene 2)

(Cerita ini hanya fiksi belaka. Segala yang tertulis ‘belum tentu’ benar-benar terjadi di dunia nyata. Artinya beberapa pasti pernah beneran kejadian dong, Peace!)

Dinda masih tak percaya dengan pemandangan di depan matanya. Sosok yang selama ini begitu jauh bak bintang di langit kelam, hanya untuk dilihat bukan untuk digenggam, tiba-tiba saja berdiri dengan jarak kurang dari dua meter di hadapannya.

Heru yang datang tanpa pretensi so pasti kaget dengan reaksi makhluk manis bernama Dinda itu. Heru belum mengenalnya, cuma sekadar tahu, itupun cuma dari mulut teman-teman seangkatannya yang hobi memangsa adik kelas. Tapi setelah berada begitu dekat, dan merasakan sendiri aura dan aroma turunan Hawa yang satu ini, cuma satu kata yang melintas di benak Heru, irresistible!

“eh..emmm...” Dinda speechless. Tiba-tiba saja memori suku kata dalam otaknya kacau, seperti diacak oleh virus super kuat yang lebih ampuh dari trojan model terbaru. Ya pasti virusnya lebih sakti, lha wong yang satu ini virus dengan wajah pemenang cover boy memeriahkan Sumpah Pemuda tahun 1928, Heru Pamungkas.

Heru berusaha tenang walupun sebenarnya hatinya deg deg ser juga menghadapi kedigdayaan kecantikan Dinda. Subhanallah, kok ada sih cewek se-perfect ini, batin Heru mulai ikut berkomentar. Mana suasana senja itu begitu romantis, habis hujan, gerimis masih berjatuhan sebutir demi sebutir, angin dingin tak mau ketinggalan menambah magis suasana sore itu.

“Hujannya udah berhenti lho...” Akhirnya Heru angkat bicara. Mudah-mudahan nggak kelihatan blo’on, pikirnya.

“emmm... Iya Mas...” Dinda masih berjuang menguasai salah tingkahnya. sambil berusaha bangkit Dinda melepas senyum manisnya. Duer! Heru hampir semaput di tempat. Pantaslah dulu Majapahit dan Pasundan perang mengorbankan ribuan nyawa hanya demi seorang Dyah Pitaloka. Baru senyumnya saja sudah sanggup membuat kuda-kuda dengkul Heru gemetaran tak karuan. Wanita....wanita!

Tapi rupa-rupanya tinggi juga ilmu sirep kawan kita Heru Pamungkas. Gadis manis dengan body mbunting padi (istilah koran Poskota.pen) ini pun berhasil dibikin klepek-klepek hilang daya, putus koneksi akal sehatnya.

Sayang beribu sayang, Heru bukan orang yang berpengalaman menghadapi cewek-cewek kelas kakap model begini. Kalo ngadepin mbok-mbok tukang sayur yang nagih utang sih khatam dia.

Dinda pun berdiri dan berlalu. Heru menatapnya menjauh dengan perasaan masygul, mengagumi betapa sempurnanya ciptaan Tuhan yang satu ini. Dan ia pun balik kanan dan membubarkan diri ke arah parkiran motor. Kontrakan Cacat Asmara akan jadi saksi bagaimana Heru menjadi korban daya pikat Dinda yang tak terlawan dan lebih manjur dari pelet mahakarya Mak Erot sekalipun (lha?).

Kontrakan Cacat Asmara

Kontrakan Cacat Asmara ramai seperti biasa. Selain penghuni asli yang 6 orang (Adit, Heru, Sani, Adi, Nanda, dan Edo) ada beberapa makhluk yang sering melakukan ekspansi teritori demi koneksi internet gratis yang disediakan para empunya rumah. Dan di senja hari nan berbahagia itu kebetulan Rangga dan Fido tampak ngejogrok di pojokan rumah, sibuk memandangi laptop masing-masing dengan wajah serius, dahi berkerut, muka memerah, dan nafas tersengal-sengal (Mencurigakan nih, situs apa tho yang di buka?).

Heru masuk ke rumah tanpa mengucap sepatah kata pun. Rangga dan Fido pun seakan tak rela melepas mata dari layar laptop masing-masing. Jadilah Heru langsung melengos ke kamarnya di lantai atas. Tapi baru menjejakkan kaki di anak tangga ketiga, tiba-tiba Adi turun dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan. Dia tampak tergesa-gesa, dan berhubung tangganya sempit berhentilah kedua kawan kita ini di tengah-tengah. Keduanya tampak tak sudi mengalah. Heru miring ke kanan, Adi ikut ke kanan. Adi miring ke kiri, Heru tak mau ketinggalan. Adegan ini pasti sering anda lihat di film-film cinta ABG kacangan yang setelah adegan miring-miringan dapat dipastikan keduanya saling tersenyum tersipu-sipu dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.

Dan ternyata itu juga yang melintas di benak Heru dan Adi. Dan ketika sadar apa yang sedang terjadi, sontak keduanya memucat, “HUEEEKKK!”

“Kowe ngopoe, Ru?!” Adi berteriak duluan mengatasi rasa jijik kemungkinan jatuh cinta pada Kang Mas Heru Pamungkas.

“Lha, kowe yo kok melu-melu miring-miring, najis!! Huek..Huek!” Heru menanggapi dengan sengit, sama tak sudinya membayangkan adegan yang seharusnya romantis tadi.

“Wis, minggir sek!” Adi yang memang sedang terburu-buru tanpa komando langsung menerjang membuka jalan. Dan heru yang tak memperkirakan datangnya serangan mendadak tersebut hanya bisa pasrah ketika badannya digilas bahu Adi yang lebar kayak truk tinja.

Sambil meringis kesakitan Heru melanjutkan perjalanan yang tertunda ke kamarnya. Di dalam ruang 3x3 meter yang tenang itu, heru berbaring dalam hening. Wajahnya sendu menatap langit-langit. Pikirannya masih tergoda membayangkan momen-momen sesaatnya bersama Dinda. Heru tak bisa menyangkal naiknya kadar hormon testosteron dalam tubuhnya ketika membayangkan Dinda, tapi bukan itu saja, ada sebersit perasaan lembut mampir meniupi sanubarinya. Aaah, perasaan apa ini? Batin Heru bertanya-tanya.

Astaghfirullah! Aku kan udah punya pacar! Ojo mbayangke sing iyo-iyo lah! Ternyata kadar kesadaran dan mawas diri masih cukup banyak dalam darahnya. Sehingga menghindarkan kawan kita ini dari selingkuh hati dan khayalan (weleh-weleh!).
Esoknya...

Kampus Fakultas Hukum UII tampak penuh seperti biasa. Ke mana pun mata memandang kelihatan mahasiswa-mahasiswi berseliweran tanpa henti. Sebagian berjalan ke kelas masing-masing, yang lain memanfaatkan waktu duduk-duduk sekadar ngobrol soal tugas atau gosip siapa jadian dengan siapa.

Heru keluar kelas dengan wajah sayu. Hari ini terasa melelahkan. Semalam ia gagal tidur tepat waktu. Ini gara-gara Dinda. Entah mengapa, ia yang selama ini tak tergoyahkan harus ndredeg tak menentu karena makhluk Tuhan yang paling seksi ini. Ternyata heru masih normal, karena iman manusia pasti fluktuatif (wooo... apologi!).

Hari ini ia hilang gairah. Bahkan sms dari sang pacar pun belum dibalas sejak pagi. Tampaknya Heru sudah benar-benar kesurupan Hot and Tempting Devil, Dinda.

“Mas Heru!”

Sekonyong-konyong (ealah, opo tho!) dari arah belakang ada suara memanggil. Suaranya berhasil diidentifikasi oleh saraf pendengaran Heru sebagai suara bidadari yang kemarin sore bikin dia hampir semaput.

Heru berbalik dengan semangat 45. Wajahnya cerah dan penuh sukacita. Matanya menyala memancarkan semangat terjun ke medan perang.

Dan benarlah apa yang ia duga. Itu suara Dinda.

“Siang, Mas Heru! Habis Kuliah ya?” Dinda menyapanya sembari menampilkan segurat senyum malu-malu di sudut bibirnya. Pipinya memerah karena menahan nervous bicara dengan sang pujaan hati. Dinda rela memutus semua urat malunya demi melakukan sapaan ini.

Raut muka Heru langsung berubah sumringah. Tapi ditahan-tahan. Jangan sampai kelihatan kesenengan! Pikir Heru. Memang Don Juan kawan kita ini, sempat-sempatnya dia jual mahal.

“Ia nih... Kemarin gimana pulangnya kemaleman nggak?” Heru mencoba bersikap biasa-biasa saja. Padahal dalam hatinya sekelompok Aremania menyanyikan lagu kemenangan lengkap denganiringan drum band.

“Ia Mas, kemarin Dinda pulangnya kemaleman jadi di marahin mama deh!” Dinda mengucapkan kalimatnya dengan ekspresi wajah setengah merajuk dan nada yang sumpah imut abis!

Degup jantung Heru berlarian tak menentu. Duh Gusti, piye iki? Mana tahan!

Belum sempat Heru menanggapi ucapannya, Dinda langsung menyambung.

“emmmm...anu Mas Heru...emmmm....” Sepertinya ia ingin bicara sesuatu tapi ada yang menahannya.

“Kenapa tho? Ngomong aja nggak apa-apa kok”

“ini Mas...emmm...Dinda...boleh...tau...nomer....HP....Mas Heru...nggak?” Akhirnya lepas juga pertanyaan yang sekian lama disiapkan oleh Dinda. Wajahnya merah padam. Ia tak berani menatap mata Heru.

Tobbbat Gusti! Iki rejeki opo? Uedddiaaaan!!! Batin Heru berteriak-teriak. Kali ini dengkul Heru benar-benar nyaris mencapai batas ketahanan menopang badan kurus kerempengnya. Seumur-umur nggak ada cerita cewek cantik, seksi, dan luar biasa menarik mau tahu nomer HP nya.

“eh..emmm..bo..boleh kok!” Heru benar-benar salah tingkah. Tak tahu harus berbuat apa.

Dan berakhirlah pertemuan kali kedua itu denga pertukaran nomer HP. Sampai balik ke kamarnya di Kontrakan Cacat Asmara pun Heru masih bengong mirip kambing yang siap di kurban, belum sanggup menerima keberuntungannya hari itu.

Sedang asyik-asyiknya ngayal, HP heru berdering. Seseorang menelpon. Heru dengan segala prasangka baiknya buru-buru mengambil HP dan melihat siapa nama penelpon di layar HP-nya. Heru melengos, ternyata bukan orang yang dia harapkan.

“Halo....” Heru menagangkat dengan nada ogah-ogahan.

“Halo Mas, kok dari tadi sms ku nggak dibalas? Mas nggak punya pulsa ya?” Suara itu begitu lembut dan familiar di telinga Heru. Tapi entah mengapa untuk kali ini saja, suara itu membuatnya bosan. Suara ini bukan suara yang ia tunggu. Suara itu bukan suara Dinda, itu suara pacarnya.


Nah, bagaimana kelanjutan kisah Heru dan Dinda? Dan apakah Heru rela mencampakkan gadis yang selama ini menemani hidupnya yang penuh penderitaan, gadis yang bisa menerima dia dengan segala kesederhanaan hidup dan masa depan yang bisa dijanjikannya? Jangan lewatkan Beginilah Ceritanya (Part 2) dalam episode Just Love (Scene 3)!

To be continued...
Yogyakarta, 24 Juni 2008

Label:

diposting oleh Rangga Dian Fadhillah @ 03.33   1 Komentar