Jumat, 21 November 2008

Segelas Kopi dan Sebatang Rokok

Segelas kopi dan sebatang rokok. Pasangan paling serasi yang pernah ada di muka bumi. Romeo dan Juliet hanya tinggal cerita. Jack dan Rose tenggelam bersama kapal Titanic. Namun kopi dan rokok, berjaya mengabadi bersama derasnya roda waktu berputar.

Seperti biasa, kami masih bertiga. Duduk beralaskan dingklik (bangku kecil terbuat dari kayu, biasa dipakai untuk mencuci atau memasak oleh orang Jawa) di sebelah pintu belakang kantor magang yang sengaja dibuka lebar. Asap rokok bergantian berhembus dari sudut-sudut bibir kami yang menghitam karena kontaminasi nikotin. Bukan gaya hidup yang sehat memang, tapi sulit disangkal, nikmatnya luar biasa.

Sebuah mug besar berisi kopi panas berdiri gagah di tengah posisi duduk kami yang melingkar. Inilah kebersamaan Bung, satu untuk semua, semua untuk satu. Berbagi bukan hal asing bagi kami, tiga mahasiswa perantauan yang jauh dari orang tua. Uang kiriman yang sering telat membuat berbagi menjadi satu-satunya pilihan strategis untuk bertahan hidup.

Angga Mengangkat mug dan mendekatkannya ke mulut. Aku dan Lintang memandangi prosesi penyeruputan kopi itu dengan khidmat. Mungkin kalian bertanya, mengapa? Bagi kami, ekspresi ketika pertama kali kopi menyapa lidah dan kerongkongan adalah momen yang luar biasa. Mungkin mirip orgasme. Tapi tenang, bukan berarti kami mengalami disorientasi seksual. Ini memang orgasme, tapi bukan dalam bentuk seksual. Ini lebih batiniah, mmm, seperti apa ya? Kenikmatan toh tak selalu bisa dibahasakan, asal bisa merasai cukuplah sudah.

Matanya setengah meredup, pipi ikut kisut, mirip orang yang sedang mabuk ganja. “Srupuuuut!”, dan terdengarlah pertanda kepuasan, “Aaaaaah!”.

“Ini baru kopi, Bung!” kata Angga dengan wajah penuh kepuasan.

“Lebay, kamu Ngga!” Sambil bersungut Lintang merebut mug kopi dari tangan Angga.

Aku hanya tersenyum menyaksikan tingkah polah mereka. Ini adalah salah satu fragmen kehidupan kami yang telah berulang sebanyak ratusan kali. Namun jangan kira kami bosan, aku berani menjamin kenikmatannya tak pernah sedikit pun berkurang. Aku sangat yakin bahkan haqqul yaqin bahwa teori ekonomi the law of deminishing return yang mengatakan bahwa kenikmatan suatu benda akan berkurang semakin sering kita mengkonsumsinya, ternyata salah. Teori ini tidak berlaku bagi kami, setidaknya dalam kasus sebatang rokok dan segelas kopi.

Kali ini Lintang yang mendapat giliran menyeruput. Dan sekali lagi keluarlah ekspresi orgasme itu. “Aaaaah!” Katanya. Beberapa bulu kuduknya meremang.

“Kopi Toraja memang mantap kan?” Angga bertanya. Tapi kami tahu pertanyaan itu tak butuh jawaban.

Kopi Toraja memang salah satu varietas kopi terbaik yang pernah tumbuh di Bumi Nusantara. Bahkan Gerai Kopi yang paling terkenal di dunia, Starbucks, terang-terangan mengakui menggunakan kopi ini untuk membuat menu-menu andalannya. Bukti sahih bahwa tanah kita memang tanah Surga.

Sambil menyeruput segelas kopi panas dan sebatang rokok, ingatanku melayang kepada obrolan kami beberapa hari yang lalu. Saat itu sesinya tetap sama, segelas kopi dan sebatang rokok. Hanya obrolannya yang agak istimewa.

Waktu itu hujan turun dengan derasnya. Titik-titik air menghantam atap kantor magang tanpa ampun menimbulkan bunyi gemuruh yang memekakan telinga. Angin berhembus dengan kecepatan lebih dari biasanya. Baru kami tahu beberapa jam kemudian, bahwa di Bundaran UGM pohon-pohon besar bertumbangan tak sanggup menahan derasnya angin menghajar.

Di tengah simfoni angin dan hujan yang riuh, kami duduk santai menikmati jam istirahat. Mug porselen warna hijau zamrud menampung kopi Aceh yang masih panas mengepul. Kami harus mengeraskan suara agar bisa terdengar satu sama lain.

Lintang tiba-tiba nyeletuk, “Edan! Kopi Aceh favoritku!”

“Kok bisa?” Aku bertanya menanggapi peryataan Lintang.

“Rasanya khas banget! Pertama kali diminum terasa kalem, tapi seruputan selanjutnya, wuih ‘liarnya’ baru terasa, Hahahahaha!” Kata Lintang sambil memandangi gelas kopi yang dipegangnya. Dia tertawa puas setelah mengucapkan kata ‘liar’ untuk mendefinisikan rasa Kopi Aceh favoritmya.

“Cocoklah! Ibarat wanita, Kopi Aceh itu Mirip Cut Tari, pertama dilihat wajahnya sendu menenangkan, tapi ‘dalam’nya, brrrr, memabukkan! Hahahaha!” Angga menyambut komentar Lintang.

“Kalo Kopi Toraja gimana?” Aku melempar pertanyaan baru, sekadar memperluas topik obrolan kami yang mulai memanas.

Dengan semangat Angga kembali menyambar, “Kopi Toraja rasanya ‘pas’. Tidak terlalu pahit, tidak terlalu keras, tapi rasanya tak terlupakan. Kopi Toraja indah dalam proporsionalitasnya. Mantap!”

“Kayak Aura Kasih, Dong! Proporsional! Tinggi, langsing, tidak montok, tidak kurus, tapi sekali tertangkap mata, lelaki mana yang sanggup beralih darinya, bodinya itu lho bikin ‘tegang’!” Kali ini aku tak mau kalah.

“Tapi tetap, menurutku Kopi Jawa Timur paling paten!” Sambil mengambil alih gelas kopi dari tanganku, Angga siap mengelaborasi imajinasinya yang semakin liar Kopi favoritnya.

Ia melanjutkan, “Kopi Jawa Timur itu ‘nendang’! Sekali terasa, mata langsung membelalak dan jantung berdegup keras!”

“Wah, persis Dewi Persik Dong!” Lintang menyerobot.

“Pastinya! Goyangannya, Bung, bikin bulu kuduk berdiri, jantung serasa mau lepas, bener-bener deg-degan, hehehehe!” Aku betul-betul merem melek membayangkan aksi panggung Dewi Persik yang menggoncang syahwat para kaum adam.

Tanpa komando, Angga memotong, “Lebih tepatnya, Kopi Jawa Timur itu ‘Binal’!”

“Huahahahahaha!” Kami tertawa lepas. Masuk ke dunia imajinasi kami masing-masing. Dunia yang sangat pribadi, tempat segala hal menjadi mungkin.

Kulihat Lintang menerawang. Mungkin sedang membanyangkan Cut Tari datang padanya dengan setelan lingerie warna merah jambu. Seksi namun tetap manja. Pandangan dara Aceh yang sendu itu, membuat Lintang yang duduk mengangkang berkali-kali berganti posisi. Takut ketahuan reaksi naiknya kadar hormon testosteron yang merambat turun ke bawah perutnya.

Angga tak jauh beda. Kopi Jawa Timur favoritnya menjelaskan sisi gelap yang selama ini tertimbun rapi di alam bawah sadarnya. Yaitu obsesinya terhadap wanita ‘binal’. Memang hampir tak masuk akal. Angga memiliki wajah tipikal ustad-ustad yang biasa berceramah keliling dari desa ke desa. Dakwah menjadi jalan hidupnya. Tapi siapa nyana, selera manusia memang tak bisa ditebak. Mungkin di balik wajah es nya tersembunyi gejolak birahi yang siap meledak, Wallahu alam bi showab.

Tapi pernahkah kita berpikir bagaimana jika segelas kopi itu bisa bicara? Kira-kira apa yang akan ia katakan?

Mungkin ia akan komplain dan berkata bahwa kami adalah tiga orang paling sok tahu yang tak mengerti apa-apa soal kopi. Kopi tak pernah angkat bicara, tak pernah mengungkapkan sendiri jenis ‘rasa’nya. Bukan tidak mau, tapi memang tidak mampu. Ia tahu rasanya seperti Cut Tari, Dewi Persik, atau Aura Kasih dari tiga orang pandir yang terbatas pengetahuannya. Namun definisi itu melekat. Setidaknya bagi kami. Definisi itu kemudian menjadi identitas yang seumur hidup menempel pada segelas kopi panas.

Kasihan kopi. Tapi toh ia tak pernah protes. Jadi apapun yang kami katakan itu sah-sah saja.

Kemudian aku berpikir. Jangan-jangan manusia tak bedanya dengan segelas kopi yang diobrolkan tiga mahasiswa miskin disela-sela jam magang. Jangan-jangan kita juga tak bisa mengenal diri kita sendiri.

Kita butuh bantuan tes-tes psikologi di majalah hai atau kawanku untuk sekadar mengetahui apakah kita orang yang pemarah, ramah, atau pelit. Sebagian orang mengandalkan buku primbon dengan mencocokkan hari kelahiran untuk mengetahui jati diri dan garis nasibnya. Lebih parahnya, beberapa orang bodoh memanfaatkannya untuk lahan bisnis dengan membuka layanan SMS Primbon untuk umum, katanya dijamin manjur. Yang lain percaya pada ramalan bintang yang terbit rutin di tabloid gosip mingguan. Kita sama menyedihkannya dengan segelas kopi yang harus jadi korban khayalan-khayalan jorok kami bertiga.

Akhirnya aku kembali dari khayalanku. Kembali ke hari ini dimana kami ditemani segelas kopi toraja dan sebatang rokok. Kami masih termenung. Tapi saling tak tahu akan pikiran masing-masing.

Dan aku pun bertanya, “Jika kita yang jadi segelas kopi, dan kopi yang jadi kita, kira-kira apa yang akan ia katakan tentang kalian?”

Kami kembali terdiam. Mungkinkah Kopi bilang Ah, Angga sih gak jauh beda dengan Oma Irama, luarnya alim tapi doyan gadis muda binal kayak Angel Elga. Ketika kopi menengok Lintang, yang ini sih mirip Rizky The Titan, kelihatan kalem tapi tahunya tebar benih di mana-mana sampai kena Raja Singa. Jantungku berdegup keras ketika tiba saatnya kopi melirikku, kalau yang ini, mmm, agak sulit, mmm, memang sulit, kharismatik dan cerdas, Ah, ini dia, anak ini mirip Gugun Gondrong.

Aku Cuma bisa melongo. Sebuah peragaan Kemahatololan khayalan manusia.

Yogyakarta

Minggu, 16 November 2008.

diposting oleh Rangga Dian Fadhillah @ 05.28  

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda