Selasa, 13 Oktober 2009

True Love (Scene 1)

Gimana rasanya mencintai orang yang jelas-jelas mencintai orang lain? Pahit pastinya! Dan yang lebih sakit, demikian mendalam cintamu sehingga tak mampu berhenti mencintainya. Nggak peduli semenderita apa pun itu. Makanya, menurutku jihad terbesar adalah jihad melawan patah hati.

Rasanya kayak diremas-remas, dibejek-bejek, diinjak-injak. Pokoknya nggak karuan. Kadang ingin rasanya berlari ke hutan. Tapi takut kesasar. Pengen juga nyebur ke laut. Tapi nggak bisa berenang. Atau pecahkan saja gelasnya biar ramai (digamparin si mbok soalnya). Yah, walhasil aku harus tetap berada di sampingnya walau cuma dianggap sebagai ‘sahabat’ yang kusadari betul merupakan sebuah eufimisme dari ‘teman biasa’.

Oh ya, sampai lupa kenalan. Namaku Rey alias Reynaldi Anggoro. Umur 21 tahun, masih kuliah tahun ketiga di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Mahasiswa yang terpaksa mengambil jurusan Ekonomi Pembangunan (karena yang paling gampang masuknya!). Penampakan fisik biasa saja. Seperti kebanyakan manusia normal: punya kepala, tangan, dan kaki dengan organ-organ tubuh yang Alhamdulillah masih lengkap dan bekerja dengan baik. Dibilang ganteng? Hmm, sebelas dua belas lah sama batok kelapa!

Namun sepertinya aku yang ganteng ini salah mengambil undian takdir waktu masih di dalam alam ruh. Aku harus menjalani satu kisah cinta yang paling mengenaskan yang pernah ditulis Tuhan untuk makhluk-Nya. Mungkin dulu di alam ruh nggak ada yang mau diajak tukeran setelah pengundian, jadi terpaksa aku sial seumur-umur.

Jadi begini ceritanya kawan:

Dahulu kala ketika aku dilahirkan di sebuah rumah sakit bersalin di Kabupaten Sleman, orang tuaku menyambut dengan gembira laksana telah lahir seorang anak pembawa rahmat bagi seluruh alam semesta. Walaupun miskin ayahku memaksakan diri mengadakan pesta aqiqah (mengorbankan 2 kambing untuk anak laki-laki yang baru lahir) dengan mengundang khalayak seantero dusun tempatku tinggal. Dengan khidmat dipanggillah seorang Kyai yang paling mashur di Kecamatanku. Konon katanya doa dari sang Kyai mampu menembus Langit ketujuh dan pasti dikabulkan Allah SWT.

Berbekal selamatan mengundang seluruh warga desa dan doa dari Kyai yang sakti mandraguna, dimulailah perjalananku di dunia fana ini. Dan ketika sedikit beranjak dewasa, kira-kira ketika usiaku menginjak bulan ketujuh diadakanlah ritual Jawa kuno untuk memprediksi bakal jadi apa aku saat besar nanti. Caranya dengan menyebar barang-barang dan perkakas disekelilingku. Dan barang yang aku ambil akan jadi pertanda masa depanku.

Maka ditebarlah barang-barang seperti centong nasi (pertanda bakal jadi koki), pulpen (bakal jadi pejabat yang tahunya cuma tanda tangan), obeng (bakal jadi insinyur), raket badminton (bakal jadi juara All England 10 kali berturut-turut), dan sebagainya. Semua warga desa dan tentu saja ayah ibuku berdebar-debar menantikan momen yang sangat bersejarah ini. Dengan harapan yang melambung tinggi ditaruhlah aku yang baru bisa merangkak itu di tengah-tengah barang-barang yang berserakan.

Aku sudah lupa seperti apa persisnya jalannya acara. Tapi dari cerita orang tuaku, katanya aku langsung sumringah begitu ditaruh di antara barang-barang yang tak kukenal itu.

Seorang warga desa nyeletuk, “Wah, pertanda baik tuh, Pak! Anaknya bakal jadi pekerja keras!”

Kontan komentar itu semakin menaikkan kepercayaan diri ayah bundaku. Apalagi saat itu aku mulai bergerak ke arah sebuah palu yang biasa dipakai ayahku membetulkan perkakas rumah yang rusak. Ayah ibuku berbinar-binar melihat adegan tersebut karena menurut keterangan para tetua, anak yang mengambil martil kemungkinan akan jadi hakim atau pengacara yang menjunjung tinggi akhlakul karimah serta siaga menumpas kebatilan.

Ibuku bersorak bahagia ketika aku semakin mendekati martil tersebut, “Pak, anak kita....”

“Iya, Bu!” Bapakku pun tak kalah senangnya.

Tinggal kurang dari satu meter jarakku dengan sang palu. Mataku menatap nanar ke benda itu. Dan akhirnya sampailah aku tepat di depannya dan mengambil sesuatu yang akan jadi torehan ramalan masa depanku.

“Ooooooohhhhh....!!!!” Khalayak yang menonton ikut tegang dan menjerit melihat apa yang ada dalam genggaman tangan kecilku. Ternyata sodara-sodara, itu bukan martil tapi bungkus permen warna-warni yang tak sengaja dibuang anak mantri yang berdiri di sana. Pupus sudah angan-angan kedua orangtuaku.

Sejak saat itu reputasi dan harapan orang tuaku langsung gembos gara-gara ulahku. Ayahku malah bilang (dengan logat Jawa yang kental), “Anak ini lho, Bu! Masih kecil saja sudah bikin malu orang tua, gimana besarnya nanti! Mau taruh di mana muka saya?”

“Lha, itu taruh saja diatas kompor, biar sekalian saya godok sama tiwul!”

Ayahku mendelik, “Lho?! Ibu ini! Saya lagi serius ini! Malah diajak bercanda!”

“Lagian Bapak! Lha, wong anak kecil nggak ngerti apa-apa kok disalahin! Saya inget dulu bapak juga waktu kecil ngambilnya Cacing Tanah tho?!”

Diingatkan akan aib masa kecilnya Bapakku langsung terdiam.

Dan sejak itu pula aku dapat julukan ‘Mas SUGUS’, karena setelah dilakukan autopsi, itu adalah merek yang tertera di bungkus permen yang aku ambil dengan riang gembira waktu itu. Maka dengan kejadian itu resmi tercoreng lah nama baik para leluhurku.

Cukup cerita tentangku. Dan inilah awal kisah yang menyedihkan itu.

Ayahku yang seorang pegawai negeri sipil dengan gaji pas-pasan memiliki seorang sahabat karib. Temannya waktu SMA dulu. Pak Johan namanya. Sekarang ia menjadi seorang pengusaha properti kondang di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Walaupun sudah kaya raya, Pak Johan tidak sekalipun melupakan persahabatannya dengan ayahku. Mereka masih sering saling mengunjungi untuk sekadar ngobrol sambil minum kopi atau main catur yang menjadi hobi mereka sejak remaja.

Pak Johan memiliki seorang anak perempuan. Ia diberi nama Yasmin. Dirawat dalam keluarga kaya raya, dengan gizi yang terpenuhi dengan baik, membuat Yasmin tumbuh jadi seorang gadis yang cantik jelita. Aku berani taruhan putri-putri keraton zaman kerajaan Mataram pun tak mungkin mendekati pesona keanggunannya. Dan gara-gara makhluk inilah aku harus mengalami derita cinta tak berujung.

Yang lebih mempesona adalah sifatnya yang rendah hati dan luwes bergaul dengan siapa pun. Dan aku adalah salah satu orang yang beruntung memiliki akses bercengkrama dengannya lebih dekat dari siapa pun, karena biasa ikut bapakku menyambangi Pak Johan.

Sejak kecil, ketika bapakku dan Pak Johan asyik ngobrol atau main catur berjam-jam, tiada pilihan bagiku selain main dengan Yasmin. Awalnya kupikir membosankan karena ia perempuan dan aku laki-laki, dan kupikir ia hanya bisa main masak-masakan. Tapi ternyata Yasmin juga bisa diajak naik pohon, walaupun ujungnya pasti kami dimarahi, sampai main bola. Dan sebagai gantinya aku harus menemaninya meng-creambath rambut boneka barbie dengan semir sepatu Kiwi.

Beda denganku yang memiliki seorang adik perempuan, Yasmin adalah anak tunggal karena ibunya mengalami gangguan rahim setelah melahirkan. Walhasil bisa dipahami jika sehari-hari ia sangat kesepian ditinggal ayah ibunya yang sibuk bekerja. Itulah alasan mengapa Yasmin selalu sumringah jika aku datang.
Kami berdua begitu dekat, hampir tak ada jarak antara kita. Yasmin tak pernah segan atau jijik padaku walaupun waktu kecil penampilanku luar biasa dekil bin tengil karena jarang pakai sandal alias nyeker always kalau pergi main dengan anak-anak kampung sejawatku. Dan yang paling aku suka, Yasmin sering memberiku coklat-coklat produk luar negeri yang tak mungkin sanggup dibeli bapakku yang cuma pegawai negeri.

Dari pertama kali aku mengenalnya, senyumnya yang paling aku suka. Seingatku, Yasmin selalu tersenyum. Senyum yang tulus dan tanpa pretensi. Diberikan pada siapa pun yang memandangnya. Senyum yang selalu diberikan cuma-cuma membuat orang-orang disekelilingnya belajar menyayangi sosok gadis rupawan ini. Mulai dari orang tuanya, pembantu, supir, tukang ojek, guru sekolah, sampai orang-orang yang tak dikenal yang sempat tertambat oleh senyumnya yang magis pun menyayanginya. Tak heran jika akhirnya begitu banyak orang yang menyukainya. Dan pastinya berderet-deret lelaki yang mengharapkan cintanya. Termasuk aku.

Namun setinggi apapun manusia berangan-angan, Tuhan lah yang menentukan jalannya roda kehidupan. Manusia diberi ruang berusaha, namun Tuhan jua yang memutuskan. Sedalam-dalamnya cintaku padanya, toh akhirnya hanya mampu kupendam. Belum sempat ia diungkapkan telah lebih dulu dilamun ombak yang tak tertahankan. Walau tegar sekeras karang aku melawan, ternyata bukan, bukan untukku ia diciptakan.

Tapi kisah ini belum lagi kumulai. Saat ini pun belum selesai. Pantaskah aku berprasangka melangkahi suratan yang Tuhan gariskan? Aku manusia yang hanya mampu berprasangka. Tapi dalam bait-bait keputusasaan tak pernah putus kulantunkan doa mengharap datangnya keajaiban...

Bersambung.....

Yogyakarta, 9 Oktober 2009

Label:

diposting oleh Rangga Dian Fadhillah @ 19.39   0 Komentar