Jumat, 19 September 2008

Harapan Yang Bercerita (1)

Ujung Berung, Bandung, 2000….

Dari atas bukit, angin dingin menyusup melalui kisi-kisi jendela yang tak tertutup sempurna. Gigitannya menggigilkan tulang walaupun telah terlapisi kulit bertumpuk lemak. Angin seakan ingin bicara, menyampaikan pesannya bahwa subuh telah tiba. Semburat merah mulai mewarnai angkasa, kokokan ayam jantan sahut menyahut menambah semarak suasana.

Jam digital menunjukkan angka 04.45. Pada saat itu para petani biasa mulai beriringan menuju sawah yang siap di garap. Ibu-ibu sibuk menyapu halaman, sampah-sampah dengan sabar dikumpulkan untuk kemudian dibakar. Anak-anak kecil yang masih setengah mengantuk dengan bekas liur yang menggelayut di sudut bibir memanggil-manggil ibu mereka minta ditemani kembali tidur. Yang paling menarik, gadis-gadis remaja khas desa yang belum terkontaminasi gaya hidup metropolitan tampak bersenda gurau sembari membantu ibu mereka menerjakan apa saja. Ada yang ikut menyapu, sebagian memanaskan air, yang lain menyuguhkan kopi panas mengepul kepada ayahanda mereka tecinta yang siap berangkat ke sawah ladang.

Pagi itu sebenarnya gempita, suasananya meriah, namun tetap sederhana. Sayang, keramaian itu tidak mampu mengusik tujuh tubuh berbalut selimut yang bergeletakan sejajar di atas kasur kapuk. Mereka tetap saja diam tanda kesadaran belum membelai dan menarik mereka dari alam mimpi.

Tujuh tubuh itu terbujur kaku, kedinginan. Mereka belum beradaptasi dengan sengatan hawa subuh daerah ujung berung yang cukup mematikan. Walaupun berbalut selimut ternyata belum sanggup memusnahkan dingin yang terus saja meresapi tubuh melalui pori-pori kecil kulit yang terbuka akibat bulu-bulu yang tegang berdiri.

Akhirnya ada yang bergerak. Seseorang yang tidur paling barat dekat sebuah tangga untuk turun ke lantai bawah. Anak itu laki-laki. Bertubuh sedang, tidak tinggi tidak pendek. Kulit kuning menjurus coklat, masih bisa dibilang ’putih’ menurut definisi orang kebanyakan. Rambutnya hitam agak kemerahan, mungkin akibat terlalu sering bermain layang-layang. Ia menggeser selimutnya dan mencoba bangkit. Perlu usaha ekstra untuk sekadar duduk. Masalahnya, serangan sporadis hawa dingin telah membuat kaku seluruh ruas tulang dan persendiannya.

Ia memandang sekeliling. Seperti linglung, berusaha mengenali situasi sekitarnya sembari mengumpulkan memori yang ikut melayang ke alam tidur. Akhirnya ia sadar sepenuhnya, kemudian badannya bergetar, menggigil. Ruh yang sempat tercabut dari tubuh nampaknya telah kembali, menyambungkan seluruh koneksi saraf yang tadinya macet.

” Woi, Bangun!!!” Dengan tanpa perasaan ia berteriak seakan ingin mengambil alih komando dari udara sejuk yang melenakan.

” Parah lo semua, udah jam 5 ni, katanya mo naek ke atas bukit? Bangun Woi!!!” Ia terus saja memaki, beerharap enam onggok tubuh lainnya segera tergerak untuk bangkit menyambut panggilannya.

” Apaan si lo dri, masih ngantuk ni. Ga tau apa dinginnya kaya gini!” Seonggok tubuh menyahut dari balik selimut.

Yang memaki diberi nama Andri oleh orang tuanya. Dan yang menyahut dengan ikhlas menerima nama Rangga beberapa detik setelah adzan ayahnya berkumandang ditelinga kanan di hari kelahirannya.

Mereka sahabat Sejak kecil. Satu sekolah Sejak Taman Kanak-kanak, dan terus bersama hingga kini menjelang akhir masa Sekolah Menengah Pertama. Sepertinya nasib enggan memisahkan mereka.

Berbeda dengan Andri, Rangga berkulit coklat tua, istilah eufumisnya ‘sawo matang’ untuk tidak menyebut ‘hitam’ atau ‘keling’. Tubuh lebih tinggi dari rata-rata anak seusianya. Wajah oval dengan alis tabal dan bulu-bulu tipis mulai muncul beberapa centimeter dari bibir atas, khas anak ABG (Anak Binaan Gerandong.pen). Sayangnya, nama Rangga harus punah dari kamus pergaulan mereka karena sejak kelas 6 SD ia harus puas dipanggil ‘Tolnyot’ yang entah apa artinya (mudah-mudahan baik, Amin).

“ Ayo nyot Siap-siap, kita jadi kan daki bukit belakang?” Andri mengingatkan rencana yang semalam mereka buat sebelum meringkuk di atas kasur.

” Ya udah, lu bangunin dah tu anak-anak setan, gue mau kencing, si Jhony udah tegang mulu dari tadi ni” Rangga bergegas menuruni tangga menuju kamar mandi. Andri yang ditinggal membangunkan kelima orang lainnya sambil terus bersungut-sungut. Kalau ada sesuatu yang bisa jadi ciri khas seorang Andri, ’sungut-sungut’ cukup representatif sebagai identitas.

Kelima anak lain adalah Adit, Ulin, Dhani a.k.a Dhabong, Oddy, dan Igan. Mereka teman sepermainan di SMP Putih Hijau, Bekasi (kurang lebih 200 km dari Bandung). Saat ini sebuah vila milik Andri di puncak bukit daerah Ujung Berung menampung mereka menghabiskan waktu liburan. Berlibur ke vila ini sudah jadi rutinitas sejak mereka kelas satu SMP, saat itu cuma lima orang yang memprakarsai: Andri sebagai pemilik infrasutruktur, Rangga sebagai yang ngompor-ngomporin, Adit yang selalu pasrah ikut aja, Oddy yang pastinya tak mau ketinggalan, dan Dhabong yang kasihan kalau ditinggal (he3x).

Sekarang mereka duduk di kelas tiga, sebentar lagi EBTANAS, ujian akhir yang menjadi pintu gerbang mereka memasuki kehidupan yang lebih dewasa, SMA. Karena penat belajar bak kerja rodi akhirnya mereka memutuskan berlibur mengurai kembali saraf-saraf otak yang kusut dan sel-sel tubuh yang mulai mengalami disfungsi akibat stres.

Mereka sahabat karib. Tujuh orang yang tak terpisahkan. Sering beranggapan sebagai manusia-manusia paling elit di sekolah. Mereka adalah mantan-mantan pejabat OSIS yang popularitasnya sejajar dengan artis ibu kota. Mereka menempati kelas 3 A, kelas yang diperuntukkan bagi orang-orang paling pintar di angkatan mereka (Kecuali Dhabong yang kelas 3 B, berarti kedua paling pintar di angkatan lah, he3x lagi!). Kata Sheila on 7, ”Kesombongan masa muda yang indah”.

Semalam, sebelum tidur, mereka membuat planing akan mendaki bukit yang berada persis di belakang vila. Bukit itu tidak terlalu tinggi hanya saja indah luar biasa. Sawah-sawah terasering menghampar berundak-undak memahat bukit. Genangan air di petak-petak sawah yang terbasuh cahaya matahari memantulkan kerling-kerling silau bak mutiara di dasar lautan. Di puncaknya, ada dua buah pohon kembar entah bernama apa yang berdiri gagah menantang siapa saja untuk datang merengkuh keangkuhannya. Dan pagi ini, ketujuh remaja tanggung yang baru beranjak dari tempat tidur itu siap menjawab tantangannya.

Dengan wajah masih memancarkan kantuk yang tertahan tujuh ABG berjalan lunglai keluar vila. Dari pagar mereka berjalan ke arah kiri menuruni jalan aspal yang mulai bopeng di sana-sini. Turunan dan tanjakan tajam mereka lahap demi mencapai bukit yang ingin mereka taklukkan. Kira-kira tiga puluh menit mereka habiskan untuk menyusuri jalan menuju bukit itu, mereka menamakannya ’bukit harapan’.

Nama itu diambil melalui diskusi cukup panjang dan untuk anak seumur mereka bisa dibilang sok ’filosofis’. Tujuan akhir dari pendakian itu adalah pohon kembar yang menjulang sejajar dengan vila mereka. Menurut hasil diskusi, begitu sampai di pohon kembar mereka akan membuat forum dimana mereka akan saling mengungkapkan isi hati dan harapan-harapan mereka di masa depan. Pendakian bukit diartikan sebagai ujian dan halang-rintang yang siap menjegal mereka untuk mewujudkan impian. Dan pohon kembar adalah perlambang kesuksesan tempat mereka akan berdiri menikmati puncak kemegahan dan memandang puas melihat jejak-jejak kerja keras yang mereka lalui selama pendakian. Dan barang siapa yang sampai di atas lebih dulu, wajib mengulurkan tangan menolong temannya untuk bisa bersama-sama menggapai puncak kesuksesan.

Akhirnya sampailah mereka di kaki bukit harapan. Tujuh kepala mendongak memandangi puncak. Undakan sawah-sawah akan menjadi sarana mereka menuju puncak. Dan mulailah kaki dilangkahkan. Hanya sebuah langkah kecil sebagai langkah pertama. Namun mereka ingat nasihat seorang ahli kebijaksanaan Cina kuno, Sun Tzu yang berkata, ”To make a thousand miles journey, it should be started by one small first step”.

“ Dit, pelan-pelan ngapa!” Dari barisan paling belakang Ulin yang bertubuh tambun berkata sambil terengah-engah. Ukuran badannya memang kurang menguntungkan untuk aktivitas seberat mendaki.

” Rewel lu, makanya porsi makan jangan jumbo melulu!” Adit yang berjalan paling depan terus saja melangkah cepat tanpa memberi kesempatan untuk Ulin sekadar membalas omelannya.

Yang lain hanya tersenyum. Ikatan erat persahabatan terasa semakin lekat dengan proyek pendakian ini. Walaupun hanya bukit kecil yang jauh bila dibandingkan dengan Semeru atau Merbabu, namun ini adalah langkah besar yang akan mengubah hidup mereka beberapa tahun mendatang.

” Nih lin minum Pocari gue dulu, tapi jangan diabisin ya!” Oddy yang berjalan persis di depan Ulin menyodorkan botol Pocari Sweat nya.

” Thanks Dy!”

Oddy memang paling pengasih tapi tidak penyayang diantara mereka. Orangnya tidak banyak bicara tapi paling cepat dalam bertindak.

” Woi nyot, katanya lu mau nulis novel, jadi ga?” Igan, si anak kecil (dipangggil begitu karena paling muda diantara mereka), mencoba nimbrung dengan melempar topik pembicaraan baru. Tubuhnya tinggi dan langsing, kulit paling bersih dan terawat di antara mereka bertujuh, ketahuan selalu mandi tepat pada jadwalnya.

” Ah si Tolnyot paling jauh bikin novel yang banyak bokepnya tu” Tiba-tiba Dhabong menyambar.

”Hahahahaha....!!!” Yang lain tergelak membuat riuh suasana.

” Setan lu bong! Ntar lu liat gue bikin novel Best Seller yang masuk rekor MURI”
Pendakian terus berlanjut. Setengah jalan telah dilampaui. Undak demi undak sawah terasering telah mereka tundukan. Tiba-tiba terjadi insiden kecil.

Ulin yang kelelahan semakin jarang menimpali percakapan, padahal biasanya ia selalu setia menyumbang banyolan-banyolan kurang mutu. Karena mereka berjalan berbaris, otomatis walaupun terus terjadi percakapan tak satupun sudi menengok keadaan belakang. Sampai akhirnya Adit Menyadari sesuatu.

” Lin, lu kok diem aja?” Pertanyaan itu terlontar karena sejak beberapa menit yang lalu tak terdengar lagi suara Ulin.

” Lin?” Adit kembali bertanya.

”.......” Senyap.

Tanpa komando mereka berhenti melangkah. Dan sekali lagi tanpa instruksi mereka melakukan gerakan Paskibra yang disebut ’Balik Kanan...Grak!’. Dan terkejutlah mereka karena Ulin tidak berada di dalam barisan.

”Dy, Ulin kemana?” Tanya Andri pada Oddy yang berjalan persis di depan posisi Ulin seharusnya.

”Mana gue ngerti, gue ga sempet liatin belakang!”

” Woi liat tu...!!!” Tiba-tiba Igan menjerit sambil menunjuk arah bawah. Wajahnya kalap.

” Masya Allah!!!” Semua serentak menyebut nama Allah.

Sekitar lima meter di bawah mereka, di tengah genangan air bercampur lumpur yang mengisi petak-petak sawah, tergeletak seonggok tubuh pasrah dengan mata membelalak dan lidah terjulur liar. Tubuhnya belepotan lumpur kecoklatan. Namun dadanya naik turun pertanda tubuh pasrah itu masih bernyawa.

” Ulin!” Bersamaan mereka menjerit dan menghambur ke tubuh tak berdaya itu. Mereka melompati undakan-undakan sawah menuju tempat Ulin berbaring mesra.

” Lin, lu ga apa-apa?” Tanya Adit yang sampai lebih dulu.

”Lin, sadar Lin, sadar, utang gue belom lu bayar!” Rangga yang sampai kedua ikut-ikutan menyumbang usaha menyadarkan Ulin yang tetap tak bergerak.

Setelah yang lain berkumpul. Akhirnya mereka mengangkat Ulin dari kubangan lumpur yang pastinya kotor itu. Demi keselamatannya, mereka menyandarkan Ulin di sebuah semak tebal di antara sawah-sawah yang terhampar.

” Lin, kalo ngantuk pilih-pilih tempat ngapa, masa comberan lu hajar juga!” Kata Andri sambil berusaha menurunkan tubuh Ulin yang seberat sapi mau diqurban.

” Monyet lu! Gue udah lemes jadi ga bisa pilih-pilih!” Ulin menjawab dengan ketus.
Semua bernapas lega, walaupun belepotan lumpur ternyata Ulin tidak apa-apa. Tidak ada masalah serius pada tubuhnya. Mereka pun beristirahat Sejenak.

” Ayo jalan lagi, tanggung nih” Sambil berdiri Adit mengajak rekan-rekannya untuk kembali mendaki bukit yang tinggal setengah lagi.

” Tapi jangan buru-buru ngapa, ntar Ulin ngampar lagi di comberan!” Kata Rangga sambil melirik Ulin.

” Setan lu Nyot!” Yang digoda misuh-misuh.

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Langkah demi langkah membawa mereka semakin mendekati puncak. Pohon kembar semakin jelas di mata mereka. Saekan tak sabar, mereka menambah kecepatan berjalan. Sepertinya tak ingin melewatkan waktu barang sedetik pun.

Hari mulai panas. Matahari semakin meninggi. Vitamin D dalam tubuh ke tujuh anak ABG penuh semangat itu terbakar dan bertransformasi menjadi keringat yang membanjiri kulit mereka. Itu terlihat jelas dari lepeknya kaus putih yang mereka kenakan. Biarpun lelah terus menghantam tak sedetikpun mereka berpikir untuk berhenti. Berkali-kali terjerembab dan hilang keseimbangan. Kaki mereka penuh lumpur dan luka-luka kecil tergores batu menggambarkan beratnya perjuangan mencapai puncak bukit yang mereka inginkan. Tapi semangat tidak kunjung surut dan teredam. Malah semakin tersulut dan berkobar.

” Akhirnya.....” Rangga memandang puas. Di depannya tampak dua buah pohon kembar yang tinggi menjulang. Kehadiran pohon-pohon tersebut terasa kontras dengan sekelilingnya yang hanya belukar dan padang ilalang. Tapi justru kekontrasan dan ketidakwajaran itu yang membuat dua pohon tersebut kelihatan mencolok dan menjadi simbol seluruh habitat puncak bukit. Tidak selamanya berbeda itu salah. Dengan berbedalah eksistensi kita semakin nyata.

Anak-anak itu tersenyum. Kemudian tertawa. Kepuasan terpancar di wajah mereka. Pendakian selama kurang lebih 2 jam telah membawa mereka ke puncak bukit di mana keindahan dunia bawah terlihat sangat jelas. Kota yang mulai ramai. Cerobong-cerobong pabrik yang terbatuk-batuk mengelurkan asap hitam. Bunyi klakson bis kota dan angkot terdengar jelas di kesunyian puncak bukit harapan.

Kini mereka duduk melingkar. Meregangkan kaki yang terasa pegal. Napas mereka masih menderu, belum lagi stabil seperti biasa. Tapi ledakan semangat dan kepuasan tak mampu mereka bendung yang justru makin memacu detak jantung dan paru-paru.

Saatnya pun tiba. Sambil menikmati semilir angin yang membelai helai demi helai rambut mereka, harapan-harapan pun diucapkan oleh bibir remaja mereka yang belum lagi merah seutuhnya.

Andri yang memulai. Selama ini ia selalu dianggap sebagai pemimpin gerombolan sok elit ini. Selain paling tua, memang ia lebih tegas dan berwibawa dibanding yang lainnya.

” Gue ga pengen muluk-muluk, gue cuma pengen jadi orang yang berguna buat bangsa gue. Ga harus jadi orang kaya dan bergaji dolar, yang penting gue bisa punya sumbangsih nyata buat orang-orang yang gue sayang”

” Jadi tukang bajaj mau lu Dri?” Celetuk Dhabong.

” Sialan lu Bong!”

” Hehehehe....” Yang lain ikut terkekeh.

” Kalo lu Nyot, pengen jadi apa?” Tanya Igan.

” Gue si tipe orang optimis yang yakin punya masa depan cerah. Gue pengen jadi orang yang punya kuasa. Gue pikir kalo kita ga punya kuasa kita ga bakalan bisa mengubah apapun. Bangsa ini butuh perubahan, tapi untuk berubah perlu kekuatan. Makanya gue pengen jadi politisi kalo bisa malah jadi presiden. Tapi bukan politisi korup lho...” Rangga menjelaskan dengan penuh semangat, matanya berbinar-binar.

Tuk! Segenggam rumput mendarat di muka Rangga.

” Ngarep lu Nyot!” Kata Ulin sambil bersiap melempar genggaman rumput selanjutnya.

” Biarin aje, namanya juga harapan! Sirik aja lu! Lu sendiri pengen jadi apa Lin?” Rangga balik bertanya.

” Gue sih ngalir aje Nyot. Gue belom punya ide atau cita-cita yang serius. Gue Cuma pengen jadi orang yang enjoy sama apa yang gue lakuin…”

“ Merawanin anak orang kan enjoy juga lin?” Kali ini Igan nyeletuk.

” Pas banget ama lu tu Lin...hahahahaha!” Andri menimpali.

” Ya ga gitu! gue cuma ga pengen jadi orang yang ngerjain sesuatu cuma gara-gara tuntutan orang tua atau desakan ekonomi. Gue mau ngerjain apa yang hati gue nyuruh gue lakuin! Gue pengen jadi manusia bebas!”

” Sok-sok an lu!!!” Adit sewot.

Kali ini Oddy siap bicara, “ Gue pengen hidup mapan. Punya kerja yang gajinya bagus dan sesuai sama bidang studi pas gue kuliah nanti. Gue pengen hidup tenang punya istri, punya anak, ga usah kejauhan mikir negara kaya’ Tolnyot sama Andri. Yang penting gue bisa bikin bahagia orang tua dan keluarga gue!”

“ Semua juga mau gitu Dy...” Adit menyerobot.

“ Simple life is a best way, itu motto gue!” Oddy menambahkan.

“ Kalo gu...gue si pe...pengen jadi businessman sukses. Punya pe..perusahaan atau jadi CEO pe…perusahaan terkenal. Gue pengen ja…jadi o…orang kaya ka..karena cuma orang ka...kaya yang bisa bikin kaya orang lain. Gi..gimana mau bantu orang kalo ki..kita aja kere!” Dengan menggebu-gebu Adit menjabarkan cita-citanya, dan karena terlalu bersemangat penyakit gagapnya kambuh.

“Lu gimana Bong? Gan?” Andri bertanya pada Dhabong dan Igan yang belum mengatakan harapan mereka.

Dhabong menjawab lebih dulu. ” Gue si cukup lah jadi pegawai swasta atau PNS, gue ga mau ribet. Yang penting punya gaji, bisa ngasi makan anak istri gue, beres dah!”

” Kalo gue sering ngimpi jadi penemu. Gue bakalan jadi insinyur atau ahli elektronika yang nemuin cara baru bikin bangunan di udara atau bikin robot yang bisa mijitin gue kalo pegel-pegel. Yang jelas gue juga pengen memberi kontribusi buat kemanusiaan melalui karya-karya gue, sekecil dan sesederhana apapun itu...” Igan menutup diskusi mereka.

Keheningan menyapu lingkaran anak-anak yang duduk berselonjor kelelahan sambil berbagi cerita tentang masa depan. Mereka mungkin tak sadar, namun di atas sana ada Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar terkekeh mendengar percakapan mereka. Ia tertawa karena membayangkan bagaimana jika mereka tahu mereka akan jadi apa nantinya, sebagian benar namun sebagian lain harus menempuh jalan takdir yang sama sekali berbeda dan tak pernah terbayangkan. Dia Yang Maha Perkasa Sudah menulis di lembaran Lauhul Mahfudz akan jadi apa mereka nantinya, dan itu tetap menjadi rahasia sampai waktunya tiba. Seperti kata seorang filsuf, Tuhan tidak bermain dadu.

“ Eh liat tu, Ada burung layang-layang baris!” Rangga menunjuk keangkasa tempat puluhan titik-titik hitam membentuk formasi anak panah.

” Gue harap kita bisa jadi kaya’ burung layang-layang itu. Mungkin mereka terbang di ketinggian yang berbeda, satu burung lebih tinggi dari yang lain. Juga berada di posisi yang berbeda. Ada burung yang terbang di depan ada juga yang di belakang. Tapi walaupun ada yang tingggi ada yang rendah, ada yang depan ada yang belakang, kalau diliat dari bawah mereka tetap membentuk formasi yang harmonis. Mereka tetap saling mendukung menciptakan keindahannya sendiri yang itu di kagumi oleh manusia-manusia yang melihat mereka dari bawah.

” Gue harap kita bisa jadi kaya’ gitu, ga peduli nanti gue jadi apa, Dhabong jadi apa, Andri jadi apa, kita harus tetap saling dukung dan memperlihatkan keindahan kita pada dunia. Biar waktu mengubah kita jadi apapun, tapi ia ga bisa ngubah kenyataan kalau lu semua adalah sahabat-sahabat terbaik gue....”


Bersambung..........

diposting oleh Rangga Dian Fadhillah @ 19.26  

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda