Kamis, 18 Juni 2009

Begini Ceritanya (Part 2)

Just Love (Scene 1)...

(Cerita ini hanya fiksi belaka. Segala yang tertulis ‘belum tentu’ benar-benar terjadi di dunia nyata. Artinya beberapa pasti pernah beneran kejadian dong, Peace!)


Siang ini matahari begitu beringas, menghajar tiap jengkal kulit dan memaksanya memeras bulir-bulir keringat sampai habis persediaan. Saat panas sedang berada di puncaknya, seorang anak muda yang ketika lahir diberi nama Heru Pamungkas berjalan gontai di bahu Jalan Taman Siswa.

Jam kuliah baru saja usai, Dasar sial, saat itu kebetulan motornya dipinjam dan sang peminjam yang kurang berperikemanusiaan itu lupa menjemput Heru sesuai nota kesepahaman yang telah dibuat di atas materai enam ribu. Walhasil, si pemuda kurus berwajah merana itu harus merelakan diri bersimbah keringat berjalan kaki menuju Kontrakan Cacat Asmara, sekitar satu kilometer dari Kampus Fakultas Hukum UII (Universitas Islam Indonesia).

“Mas Becak, Mas!” Seorang tukang becak tiba-tiba muncul tak terduga dari arah kanannya.

“Nggak usah, Pak. Udah deket.” Jawab Heru berusaha mengeluarkan nada sopan.

“Naik becak aja, Mas. Dari pada jalan, kan capek. Tu liat basah keringetan...”

Asem! Rewel banget nih tukang becak. Kalo ada duit juga dari tadi gue (dengan ‘g’ medok ala orang jawi tulen) naik becak. Batin heru meronta-ronta. Kakinya pegal setengah mati, bukan karena fisiknya lemah, tapi deraan panas matahari plus dehidrasi yang mulai menyerang, akhirnya membawa stamina pada batas akhir ketahanannya.

Lagi asyik bersungut-sungut, si tukang becak yang gigih melanjutkan rayuan pulau kelapanya.

”Wis Mas, saya kasih murah, dua ribu aja sampe rumah masnya... Plus tempat duduk full musik!” Si tukang becak mengakhiri promosinya dengan nyengir dan mengacungkan jempolnya yang asimetris, mirip pose caleg-caleg gagal jadi anggota DPR.

Edan, tukang becak jaman sekarang! Pikir Heru. Ternyata strategi marketing dan prinsip best service sudah merambah ke sektor jasa paling primitif ini. Belum habis lamunannya, Heru kembali dikejutkan oleh tingkah polah si Abang Becak. Kali ini dia betul-betul mengikuti Hadis Rasulullah Saw, “jika tidak bisa dengan lidah maka lakukanlah dengan tangan...” Yup, dan satu jari abang becak pun mencolek bahu Heru.

“Mas ayo dong, jangan malu-malu. Gengsi ya cowok naik becak. Jaman sekarang kebanyakan gengsi sengsara, Mas!”

Wue..e..e.. Ini udah kelewat batas. Mata Heru melotot, tangannya terkepal, dan....yak akhirnya tukang becak itu kena semprot.

“Pak, pertama saya udah bilang rumah saya deket. Jadi saya nggak perlu naik becak. Kedua, saya nggak punya duit buat bayar becaknya. Dan ketiga, saya mahasiswa Hukum, bapak bisa saya tuntut dengan tuduhan melakukan tindakan tidak menyenangkan pada seorang pemuda tampan asli kelahiran Patang Puluhan!”

Sang tukang becak melongo, seakan tak percaya. Heru pun melengos pergi setelah menumpahkan sebagian kecil amarahnya. Hmm, tapi kenapa ya kawan kita yang satu ini jadi sensi banget?

Selidik punya selidik, Heru lagi ada masalah sama pacarnya. Biasalah anak muda, kalau pacaran pasti banyak berantemnya. Tapi kali ini agaknya permasalahan mulai berada di luar kendali.

Pacar Heru, seorang gadis yang...mmm...agak susah nih, kalo deskripsinya kebagusan nanti disangka penulis naksir, tapi kalau jelek udah pasti si Heru ngamuk, yah yang jelas dia gadis baik-baik, berbudi pekerti luhur, dan rajin membantu ayah dan bunda. Dia adalah satu-satunya gadis yang berhasil dibuat khilaf karena dengan berat hati menerima Heru jadi kekasihnya beberapa tahun lalu. Alasannya sampai sekarang belum diketahui tapi biarlah itu menjadi cerita mereka berdua (Cieeeh!).

Hubungan mereka langgeng-langgeng saja. Hampir tiada gelombang yang mampu mengaramkan bahtera asmara mereka (busyet, dangdut abis!). Mereka pasangan dengan idealisme membangun keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah setelah menikah nanti. Pokoknya semua kelihatan sempurna, sampai terjadilah kejadian itu.

Eng...ing...eng! Masalah berawal dari munculnya seorang gadis bernama Dinda (Bukan nama sebenarnya). Dia adik angkatan Heru di Kelas Internasional Fakultas Hukum UII. Orangnya tinggi semampai, berkulit putih bagaikan pualam, bibir merah jambu yang selalu basah merekah ala Manohara, dan yang paling spesial, tubuhnya benar-benar mengundang imajinasi kaum adam untuk membayangkan ada apa di balik outfit-nya yang selalu press-body.

Dengan segala kesempurnaan yang dimilikinya, Tuhan menetapkan takdir yang sangat kejam untuk Dinda. Dengan sangat tragis dia menjadi gadis kedua yang khilaf karena jatuh cinta pada Sang Pangeran Raden Mas Heru Pamungkas Mangku Wanito Mudo neng Pinggir Segoro ra Nganggo Busono! Betul kata Desy Ratnasari, “Takdir Memang Kejam!”

Sungguh, walaupun kita undang semua Kyai paling tenar di negeri ini untuk mengadakan istighosah akbar, tidak akan ada yang sanggup mengungkap azab apa yang sedang ditimpakan Allah kepada gadis cantik ini. Na’udzubillah min dzalik. Karma apa pula ini. Ini lebih parah dari azab sahabat Son Go Kong si Pat Kay yang harus jadi babi karena di kehidupan terdahulu banyak berbuat maksiat.

Tapi inilah Mahadaya cinta. Cinta tak kenal penampakan fisik ataupun materi. Cinta hanyalah cinta. Dan yang pasti, cinta tak butuh alasan.
Dan itulah yang sedang dirasakan hati Dinda. Hari-harinya penuh dengan bayang wajah sang pucuk dicinta. Tapi kenapa harus Heru? Ups, maaf. Tidak seharusnya penulis ikut mempertanyakan suratan takdir tugas penulis hanya melaporkan fakta. Yak, lanjut!
Cuma demi melihat sekilas wajah Heru yang melintas di depannya, Dinda bela-belain datang dua jam lebih awal dari jadwal kuliahnya. Demi bisa curi-curi pandang, Dinda belain duduk di kantin yang banyak asap rokoknya. Demi sekadar mendengar suara sang pujaan hati, Dinda bela-belain ngerekam pake HP suara Heru yang lagi ngobrol sama teman-temannya.

Aaah, dewi cinta rupanya benar-benar telah melepaskan anak panahnya. Tapi penulis yakin ini dewi cinta yang belum lulus pendidikan makanya akurasi tembakannya diragukan.

Tadinya Dinda menyimpan rapat-rapat percik-percik asmara di hatinya. Tapi ia hanya manusia biasa yang punya batas ketahanan. Ketika cinta itu telah tertanam semakin dalam dan bersemi menjadi bunga-bunga yang indah di musim rambutan (lho?), membuncahlah riak-riak cinta yang membara.

Dengan mengubur semua gengsi dan rasa malu, Dinda memutuskan untuk mengajak Heru berkenalan. Dan setelah menunggu beberapa purnama, akhirnya kesempatan itu datang jua.

Sore, pukul 3.30...

Entah memang sudah menjadi takdir atau kebetulan, sore itu hujan turun dengan derasnya. Para mahasiswa yang malas hujan-hujanan atau lupa membawa jas hujan memutuskan menunggu hujan reda sambil bercengkrama. Begitu juga Dinda. Tapi sayang mood-nya bukan untuk ngobrol saat itu.

Dinda duduk lemas sembari menyandarkan badannya ke tembok kampus yang bercat hijau muda. Matanya kosong menatap apa saja yang lewat di depannya. Pikirannya melayang entah ke arah mana. Perlahan tapi pasti kesadarannya menghilang, capek kuliah dari pagi ditambah semalam begadang menggarap paper yang belum selesai mengakumulasi semua kelelahan dalam tubuhnya. Tanpa ia sadari tidur pun membuai.
Entah berapa lama ia tertidur. Yang ia tahu, ia terbangun karena sebuah tepukan halus di tangannya yang memeluk lutut. Dan sebuah suara memanggilnya.

“Dik, udah mau maghrib kok malah ketiduran di kampus...” Suara itu mengalun tenang. Dan yang membuat Dinda terkejut, suara itu terdengar familiar.
Perlahan Dinda membuka matanya. Walau berat karena kantuk masih mendera, ia penasaran siapa yang membangunkannya. Setelah berhasil melalui transisi tidur ke bangun, setelah retina matanya bisa menangkap cahaya pantulan dari seonggok tubuh yang membungkuk di hadapannya, Dinda bisa melihat secara sempurna. Seketika kagetlah ia.

Wajah itu sangat tak asing. Wajah yang selama ini menghiasi mimpi-mimpinya. Wajah yang selalu ingin dibelainya. Wajah orang yang tak henti menghiasi tasbih-tasbih cintanya. Wajah laki-laki yang telah menawan hatinya. Wajah Raden Mas Heru Pamungkas.

* * *

Bagaimana kelanjutan perkenalan Heru dan si Cantik Dinda? Ehm, dan bagaimana reaksi pacar Heru ketika tahu ada bidadari yang naksir sama sang Idola aneka satwa? Nantikan kisah selengkapnya dalam Begini Ceritanya (Part 2) episode Just Love (Scene 2)

To be continued....
Yogyakarta, 18 Juni 2009

Label:

diposting oleh Rangga Dian Fadhillah @ 00.33   0 Komentar

Rabu, 17 Juni 2009

Begini Ceritanya (Part 1).....

“You are the universe... You’re the driver, not a passenger in life... and when you’re ready, you wont have to try ‘cause... You are the universe and there ain’t nothin’ you can’t do... If you conceive it, you can achieve it... That’s why i believe in you”
-The Brand New Heavies, You are the universe-

Halo, Salam kenal. Kalau biasanya sebuah cerita diawali dengan penggambaran karakter tokoh atau setting tempat, demi membuat perbedaan dan mendapat label ‘orisinil’, tulisan ini akan diawali perkenalan dengan si penulis cerita (Nah Lho!). Ini dimaksudkan menjadi model revolusi besar-besaran dalam dunia tulis menulis karena rata-rata penulis selalu diperkenalkan di halaman paling belakang dan ini jelas-jelas menghina eksistensi para penulis. Walhasil, kadang-kadang judul dan cerita novel lebih terkenal dari nama penulisnya (yang merasa tersindir harap maklum!).

Ehm, nama penulis cerita ini adalah Rangga Dian Fadillah, yang selalu merasa ejaan nama belakangnya salah menurut kaidah Bahasa Arab yang sesuai EYD (emang ada ya?). Seharusnya bukan ‘Fadillah’ tapi ‘Fadhillah’, namun apa daya karena kadung tercetak di akte kelahiran, KTP, SIM, Ijazah, dan setumpuk sertifikat si empunya nama akhirnya pasrah juga. Lagi pula ia nggak tega menyalahkan ayah bundanya yang bertahun-tahun melimpahkan kasih sayang (dan uang tentunya!) dalam membesarkannya.

Sehari-hari si penulis dipanggil ‘Rangga’. Oleh orang rumah dipanggil ‘Angga’, sama adik-adiknya dipanggil ‘Mas Angga’, dan sama tukang Mi Ayam di kampus biasa dipanggil, “Mas..mas..Mi Ayamnya yang kemarin belum bayar!” (Ups!).

Gayanya biasa, seperti kebanyakan anak muda awal 20-an. Suka pake celana jins dan sneakers (karena emang nggak punya sepatu dan celana yang lain). Untuk selera fashion, nggak ada yang spesial, apa saja yang sudah selesai dicuci dan disetrika sama mbah-nya langsung disikat tanpa tedeng aling-aling. Tapi, yah, namanya punya takdir ganteng pake baju apa juga enak dilihat (hehehe...sorry nih narsis!). Dan kemana-mana selalu bawa tas yang isinya net-book Axioo Pico 10 inch yang belum lunas kreditannya.

Tinggi badan 180 cm lebih sedikit, berat badan sedang turun ke angka 80 Kg, berat asli dirahasiakan tapi masih masuk definisi berat ideal menurut majalah Men’s Health. Kulit sawo matang kalau ikut klasifikasi pelajaran bahasa Indonesia kelas 3 SD, tapi cewek-cewek biasa menyebutnya ‘hitam manis’ (Sumpah ini nggak direkayasa sama sekali, bisa disurvey langsung kalau perlu panggil LSI). Otaknya biasa aja nggak terlalu menonjol karena IQ nya Cuma 119, rata-rata orang normal. Tapi karena hobi menenggelamkan diri dalam tumpukan ratusan buku di kamarnya, orang sering datang diskusi dan tanya ini itu sama dia. Status: In Relationship with....woman (ya, iyalah)!

Yup, cukup dengan si penulis. Kalo kebanyakan diceritain nanti dia besar kepala. lihat aja tuh, dia udah mulai melayang-layang nggak jelas. Jadi demi kepentingan seluruh umat manusia dan khalayak ramai terpaksa kita cut perkenalannya.
Sekarang kita masuk ke cerita. Sebagaimana menulis skripsi, pasti ada abstrak yang merangkum seluruh ide dalam satu paragraf pendek. Ini dia ringkasan ide dari cerita ini (ini sangat kondisional, sewaktu-waktu bisa berubah atau nyasar kemana-mana, jadi pembaca harap maklum):

“Cerita ini boleh dibilang masuk kategori genre roman metropolitan , hanya setting tempat bukan di Jakarta tapi Yogyakarta, kota eksotis yang menjadi besar karena mempertahankan kultur dan tradisinya. Bumbu-bumbu cinta pasti ada tapi tidak menjadi intinya. Cerita ini tentang kisah hidup, mimpi, penderitaan, dan persahabatan sekelompok mahasiswa dari perguruan tinggi yang berbeda yang sering mangkal di sebuah rumah yang dengan bangga mereka sebut ‘Kontrakan Cacat Asmara’. Mereka menyimpan asa untuk menjadi ‘manusia’ menurut konsepsi mereka. Inilah intinya ‘menjadi manusia menurut definisi mereka’. Karena manusia tak sama, perbedaan adalah anugrah terindah yang harus kita jaga kelestariannya. Menjadi berbeda bukan dosa, hanya kadang orang keburu mengadili sebelum sempat memahami.”

Nah, untuk bikin kalian tambah penasaran, si penulis memutuskan untuk menyudahi Begini Ceritanya (Part 1). Dan nantikan episode kedua di mana semua kisah menapaki pijakan awal mula dan mengikat mereka yang berada di dalamnya dalam simpul-simpul imajiner tak kasat mata. Kisah berkelindan membentuk nebula yang belum jelas akan terbentuk menjadi apa. Bisa jadi nebula itu menjadi kumpulan bintang yang bersinar indah memancarkan warna menghibur hati-hati yang sedang dirundung gelisah, tapi bukan tak mungkin mereka saling bertumbuk dan membuat Ledakan Besar versi ke-II, menghancurkan semua, menyisakan ketiadaan. Biarlah semesta memandu jalannya cerita kemana dan kapan ia harus berakhir. Karena mereka selalu percaya, takdir adalah hal terbaik yang pernah diciptakan Tuhan untuk umat manusia.

To be continued....
Yogyakrta, 17 Juni 2009

Label:

diposting oleh Rangga Dian Fadhillah @ 02.28   0 Komentar