Jumat, 21 November 2008

UNTUK HITAM SAHABATKU....

Sebutlah namamu Hitam. Bukan nama sebenarnya memang. Tapi kau jangan tersinggung. Ini juga demi melindungimu dari orang-orang pandir yang mungkin menyalah artikan tulisanku. Dalam tulisan ini semua tokoh akan disamarkan, seperti sebuah opera. Dan kau kebagian peran menjadi Hitam. Kau tak perlu gundah karena kau hanya perlu memerankan dirimu sendiri dengan nama yang berbeda.

Ini kisahmu. Kisah tentangmu tepatnya. Kisah ini kutulis karena kau sahabatku. Ini adalah sebuah usaha untuk menujukkan padamu, seperti apa kau yang ada dalam pikiranku. Agar sekali-kali kau mengerti bahwa duniamu bukan milikmu sendiri.

Hitam sahabatku. Kenapa kupilih Hitam sebagai namamu? Bukan karena begitulah kau di mataku. Tapi itulah kira-kira bagaimana kau mendefinisikan dirimu sendiri. Setidaknya dari sudut pandangku.

Aku sampai pada kesimpulan itu melalui sebuah proses panjang selama persahabatan kita. Memang belum terlalu lama aku mengenalmu. Mungkin baru sekitar dua tahun yang lalu kita saling bicara. Baru satu tahun kita saling bertukar pikiran. Dan baru beberapa bulan kita mulai berbagi hal-hal paling rahasia. Tapi kurasa cukuplah untuk mengenalmu.

Kau seringkali berkeluh kesah, tentu tetap dengan gayamu yang senang bercanda, bahwa kau adalah orang paling malang di dunia. Khususnya dalam perkara cinta. Akh, kenapa kita harus melulu membahas soal cinta. Nampaknya cinta telah menjadi tambahan kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan, dan papan.

Pernah suatu kali kau membagi satu episode kisah cintamu. Gadis itu teman seangkatan kita. Tapi sayang, aku belum sempat bertemu dengannya. Sebut saja namanya Bunga.

Bunga berhasil mengkapling satu ruang dalam hatimu. Dia sangat berkarakter. Dewasa dan keibuan. Ha, saat itu aku baru tahu seleramu. Kau menunjukkan fotonya yang entah kau dapat dari mana. Hmm, menurutku sih biasa saja. Tapi itu kan kisahmu, sah-sah saja jika kau menganggap Bunga beda tipis dengan Luna Maya. “Pastinya lebih cantik dari Dewi Sandra!” Begitu kau berkata waktu itu.

Mabuk kepayang. Begitu mungkin lagu dangdut mencoba menggambarkan apa yang kau rasakan. Namun di sini cerita mulai masuk pada intinya. Di sini baru aku tahu masalahmu yang sebenarnya.

Kau tak berani mendekatinya. Itu dia masalahnya. Kau hanya sibuk mengaguminya dari jarak yang tak terjangkau olehnya. Kau membangun benteng hingga perasaanmu tak sempat diketahuinya. Berkali-kali kau tumpahkan perasaanmu dengan mengkhayalkan romantisme platonik sempurna. Kau dan dia duduk berdua di taman penuh bunga. Kau menggenggam tangannya, dan dia tersipu malu menundukkan kepala. Senyum bahagia tak lepas dari bibir kalian berdua. Janji bersama selamanya terucap bagai prasati yang abadi. Sebuah pohon rindang menjadi saksi kisah cinta kalian yang serba bahagia. Tapi itu hanya khayalan kawan. Realitanya, jangankan mau kau pegang, kau ajak bicara pun jarang.

Sampai akhirnya kau bilang tak tahan lagi dengan semakin membuncahnya perasaan cintamu padanya. Telah terjadi aktivitas gunung berapi dalam dadamu. Bergemuruh. Rasa cinta dan keinginan untuk mendapat, bukan balasan, tapi setidaknya sebuah respon meledak-ledak tak karuan. Dan sampai pada suatu saat meletuslah cinta terpendammu itu.

Kau tak berani mengatakan langsung padanya. Tapi kau berpikir, di sinilah saatnya teknologi menolong manusia. Kamu menulis sebuah surat panjang lebar tentang perasaanmu yang akan kau kirim via e-mail. Aku bergetar membaca surat itu ketika kau tunjukkan. Ternyata kau memang telah sampai pada puncaknya. Bahasamu begitu ‘membara’.

Kau pun berangkat ke warnet terdekat dengan semangat ’45. Mirip komandan Batalyon Pasukan Jendral Sudirman waktu gerilya di Ambarawa. Wajahmu sumringah. Akhirnya apa yang selama ini kau pendam tersalurkan sudah. Sebuah surat sepanjang 5 halaman microsoft word siap mengarungi jaring-jaring dunia maya menuju inbox e-mail Bunga.

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, kau meng-klik “send” di layar komputermu. Pesan itu terkirim. Kau pun mengayuh sepeda bututmu kembali ke kamar kos yang pengap dan dipenuhi tumpukan buku.

Tiga hari tak ada balasan. Padahal kau selalu setia datang ke warnet selepas shalat maghrib, mirip jadwal orang buka puasa. Perasaanmu kebas. Makan tak enak, tidur tak nyenyak.

Satu minggu sudah. Inbox e-mail mu belum berisi satu pesan pun yang datang dari e-mail Bunga. Hatimu remuk redam, hancur-hancuran. Keadaanmu waktu itu mirip seekor kambing yang akan dikurban. Melongo seharian. Harap-harap cemas.

Hari kesembilan, pukul 18.02. Kau yang sudah kehilangan harapan kembali menyambangi warnet terdekat. Kau mengetik yahoomail.com di adress bar dan memasukkan password untuk membuka e-mail mu. Dan datanglah apa yang kau tunggu.

Sebuah pesan berjudul ‘RE: Surat Pernyataan Cinta’. Alamatnya dari bungamelati@yahoo.com. Itulah jawaban yang kau tunggu. Jantungmu bertalu-talu. Kau condongkan posisi dudukmu seakan takut tak jelas membaca isi surat balasan itu. Dan sebuah kalimat singkat muncul di layar komputermu: “Maaf Hitam, aku sudah punya pacar”.

Gelap. Cuma itu kau bilang yang kau rasakan saat itu. Aku mengerti sepenuhnya kawan. Memang sakit jika cinta bertepuk sebelah tangan.

Kejadian itu menambah daftar panjang kisah cintamu yang berakhir dengan penolakan. Tapi biar aku memberi pendapatku tentang kejadianmu dengan Bunga. Bagaimana kau berharap Bunga membalas cintamu hanya dengan sebuah surat yang dengan menggebu-gebu, menyatakan betapa kau mencintai dan menyayanginya? Wanita butuh sinyal kawan. Kau harus melakukan pendekatan. Ajak dia bicara. Buat ia nyaman berada di dekatmu, baru kau nyatakan cinta.

Kesalahanmu adalah kau tak pernah berusaha membuat kehadiranmu diperhitungkan dalam hidupnya sebelum menyatakan cinta. Kau tak bisa berharap seseorang mau menjadi kekasihmu saat kau masih asing baginya. Ini bukan zaman Siti Nurbaya kawan.

Kau tertunduk lesu. Kau bilang kau merasa malu mendekatinya. Kau merasa tidak pantas dan risih mengajaknya bercengkrama. Kau bilang, “Mana mungkin gadis secantik dia mau kuajak bicara!”. Bagaimana kau tahu, kau kan belum mencobanya?

Kau terlalu rendah mengukur dirimu sendiri, Hitam sahabatku. Kau memang tidak setampan Glen Alinski atau semodis Ferry Salim. Kau juga tak sekaya Adrian Bakrie pacar baru Nia Ramadhani. Tapi bukan berarti kau tak punya kelebihan. Kau tidak pantas merendahkan dirimu sendiri.

Semua orang yang pernah bergaul, bicara, berdebat, bahkan bermusuhan denganmu mengakui bahwa kau ‘lebih’ cerdas dibanding orang kebanyakan. Hobimu mengurung diri di kamar dan berjibaku dengan ribuan buku membuka cakrawala pikiranmu sampai pada hal-hal yang tak sempat dipikirkan orang-orang pada umumnya. Gagasanmu ‘seksi’, selalu membuat orang terperangah, berdebar-debar menanti apa yang akan kau katakan selanjutnya. Dalam bahasa kerennya, kau ‘melampaui zaman’.

Petualanganmu ke dunia ide dan wacana telah membukakan satu pintu masuk ke jagat ilmu Tuhan yang Maha Luas. Kau telah menjadi satu titik debu yang melayang di samudra pencarian terhadap kebenaran. Di sana kau bertemu dengan titik-titik debu lain bernama Einstein, Kant, Spinoza, Nietsche, Mulla Shadra, Suhrowardi, Al-Ghazalli, dan nama-nama besar lainnya.

Biji zarah kecerdasan telah menghantam keningmu seperti kala sebuah Apel jatuh ke kepala Isaac Newton. Cahaya jidatmu yang mengkilat mungkin pancaran dari karunia itu. Kau harus mensyukurinya kawan.

Kau habiskan malam-malammu berdiskusi dengan arwah Sigmund Freud berusaha memahami dirimu dan diri yang lainnya. Saat yang lain lelap, kau buka kitabmu, kau bercengkrama akrab dengan Jacques Derrida, mendekonstruksi segala hal yang telah mapan dalam kostruksi pikiranmu. Kau sebuah buku berjalan, begitu kata seorang sahabat. Komunitas kita menghormatimu sebagai salah satu produk paling berhasil dan mungkin yang terbaik. Jika sebagian mereka mencibir, itu hanya karena ruang dalam otak mereka tak cukup untuk menampung keluasan pengetahuanmu. Kau tak perlu resah dengan itu.

Kau seringkali memuji dirimu sendiri. Tapi aku yakin itu bukan pertanda percaya diri. Kau menutupi ke tidak percaya dirianmu dengan memuji dirimu sendiri. Mekanisme bela ego, begitu kita sering menertawainya. Kau harusnya bangga kawan dengan segala apa yang kau punya. Itu satu-satunya jalan untuk keluar dari krisis dan kegundahanmu.

Kau pantas mengajak bicara gadis manapun. Walaupun penampilanmu sederhana, bukan berarti kau kehilangan hak ngobrol dengan gadis-gadis metropolitan yang selalu up date penampilannya. Kau hanya butuh mencobanya. Kau butuh sebuah momen ‘pertama’ sebagai batu pijakan menuju revolusi kesadaranmu yang selama bertahun-tahun memenjaramu dalam rasa rendah diri. Kau hanya butuh menyapa mereka dengan berkata, “Hai, apa kabar?” dan setelah itu lihatlah betapa mudahnya berbicara dengan mereka. Kau akan merasa kaget dan berpikir,”Mengapa aku tak melakukannya sejak dulu?”.

Mungkin tulisan ini terlalu sederhana untuk cara berpikirmu yang sophisticated. Tapi ingatlah Hitam, terkadang kerumitan itu dibuat sebagai distorsi agar masalah yang sebetulnya sederhana tak kelihatan. Sedikit aku memodifikasi pendapat Marx, yang pastinya kau hafal diluar kepala, kerumitan yang kau buat telah menciptakan sebuah ‘kesadaran palsu’ yang menjauhkanmu dengan realitas masalah yang sebenarnya.

Tugasmu sekarang Hitam, bangun dan berjalanlah ke cermin. Lihatlah apa yang telah Tuhan berikan kepadamu, segala kesempurnaan yang tak diberikan-Nya pada orang lain. Kau lah Miftahul Ulum, kunci ilmu. Jangan kau menghilangkan kunci itu karena kemahatololanmu yang menyesatkan. Beberapa tahun lagi kau akan lihat kerumunan orang-orang bergerombol menunggu sabdamu, saat itulah kau boleh menghakimi derajatmu. Dunia ini tidak selalu seperti yang kau bayangkan kawan.

Yogyakarta, 21 November 2008

diposting oleh Rangga Dian Fadhillah @ 05.30   1 Komentar

Segelas Kopi dan Sebatang Rokok

Segelas kopi dan sebatang rokok. Pasangan paling serasi yang pernah ada di muka bumi. Romeo dan Juliet hanya tinggal cerita. Jack dan Rose tenggelam bersama kapal Titanic. Namun kopi dan rokok, berjaya mengabadi bersama derasnya roda waktu berputar.

Seperti biasa, kami masih bertiga. Duduk beralaskan dingklik (bangku kecil terbuat dari kayu, biasa dipakai untuk mencuci atau memasak oleh orang Jawa) di sebelah pintu belakang kantor magang yang sengaja dibuka lebar. Asap rokok bergantian berhembus dari sudut-sudut bibir kami yang menghitam karena kontaminasi nikotin. Bukan gaya hidup yang sehat memang, tapi sulit disangkal, nikmatnya luar biasa.

Sebuah mug besar berisi kopi panas berdiri gagah di tengah posisi duduk kami yang melingkar. Inilah kebersamaan Bung, satu untuk semua, semua untuk satu. Berbagi bukan hal asing bagi kami, tiga mahasiswa perantauan yang jauh dari orang tua. Uang kiriman yang sering telat membuat berbagi menjadi satu-satunya pilihan strategis untuk bertahan hidup.

Angga Mengangkat mug dan mendekatkannya ke mulut. Aku dan Lintang memandangi prosesi penyeruputan kopi itu dengan khidmat. Mungkin kalian bertanya, mengapa? Bagi kami, ekspresi ketika pertama kali kopi menyapa lidah dan kerongkongan adalah momen yang luar biasa. Mungkin mirip orgasme. Tapi tenang, bukan berarti kami mengalami disorientasi seksual. Ini memang orgasme, tapi bukan dalam bentuk seksual. Ini lebih batiniah, mmm, seperti apa ya? Kenikmatan toh tak selalu bisa dibahasakan, asal bisa merasai cukuplah sudah.

Matanya setengah meredup, pipi ikut kisut, mirip orang yang sedang mabuk ganja. “Srupuuuut!”, dan terdengarlah pertanda kepuasan, “Aaaaaah!”.

“Ini baru kopi, Bung!” kata Angga dengan wajah penuh kepuasan.

“Lebay, kamu Ngga!” Sambil bersungut Lintang merebut mug kopi dari tangan Angga.

Aku hanya tersenyum menyaksikan tingkah polah mereka. Ini adalah salah satu fragmen kehidupan kami yang telah berulang sebanyak ratusan kali. Namun jangan kira kami bosan, aku berani menjamin kenikmatannya tak pernah sedikit pun berkurang. Aku sangat yakin bahkan haqqul yaqin bahwa teori ekonomi the law of deminishing return yang mengatakan bahwa kenikmatan suatu benda akan berkurang semakin sering kita mengkonsumsinya, ternyata salah. Teori ini tidak berlaku bagi kami, setidaknya dalam kasus sebatang rokok dan segelas kopi.

Kali ini Lintang yang mendapat giliran menyeruput. Dan sekali lagi keluarlah ekspresi orgasme itu. “Aaaaah!” Katanya. Beberapa bulu kuduknya meremang.

“Kopi Toraja memang mantap kan?” Angga bertanya. Tapi kami tahu pertanyaan itu tak butuh jawaban.

Kopi Toraja memang salah satu varietas kopi terbaik yang pernah tumbuh di Bumi Nusantara. Bahkan Gerai Kopi yang paling terkenal di dunia, Starbucks, terang-terangan mengakui menggunakan kopi ini untuk membuat menu-menu andalannya. Bukti sahih bahwa tanah kita memang tanah Surga.

Sambil menyeruput segelas kopi panas dan sebatang rokok, ingatanku melayang kepada obrolan kami beberapa hari yang lalu. Saat itu sesinya tetap sama, segelas kopi dan sebatang rokok. Hanya obrolannya yang agak istimewa.

Waktu itu hujan turun dengan derasnya. Titik-titik air menghantam atap kantor magang tanpa ampun menimbulkan bunyi gemuruh yang memekakan telinga. Angin berhembus dengan kecepatan lebih dari biasanya. Baru kami tahu beberapa jam kemudian, bahwa di Bundaran UGM pohon-pohon besar bertumbangan tak sanggup menahan derasnya angin menghajar.

Di tengah simfoni angin dan hujan yang riuh, kami duduk santai menikmati jam istirahat. Mug porselen warna hijau zamrud menampung kopi Aceh yang masih panas mengepul. Kami harus mengeraskan suara agar bisa terdengar satu sama lain.

Lintang tiba-tiba nyeletuk, “Edan! Kopi Aceh favoritku!”

“Kok bisa?” Aku bertanya menanggapi peryataan Lintang.

“Rasanya khas banget! Pertama kali diminum terasa kalem, tapi seruputan selanjutnya, wuih ‘liarnya’ baru terasa, Hahahahaha!” Kata Lintang sambil memandangi gelas kopi yang dipegangnya. Dia tertawa puas setelah mengucapkan kata ‘liar’ untuk mendefinisikan rasa Kopi Aceh favoritmya.

“Cocoklah! Ibarat wanita, Kopi Aceh itu Mirip Cut Tari, pertama dilihat wajahnya sendu menenangkan, tapi ‘dalam’nya, brrrr, memabukkan! Hahahaha!” Angga menyambut komentar Lintang.

“Kalo Kopi Toraja gimana?” Aku melempar pertanyaan baru, sekadar memperluas topik obrolan kami yang mulai memanas.

Dengan semangat Angga kembali menyambar, “Kopi Toraja rasanya ‘pas’. Tidak terlalu pahit, tidak terlalu keras, tapi rasanya tak terlupakan. Kopi Toraja indah dalam proporsionalitasnya. Mantap!”

“Kayak Aura Kasih, Dong! Proporsional! Tinggi, langsing, tidak montok, tidak kurus, tapi sekali tertangkap mata, lelaki mana yang sanggup beralih darinya, bodinya itu lho bikin ‘tegang’!” Kali ini aku tak mau kalah.

“Tapi tetap, menurutku Kopi Jawa Timur paling paten!” Sambil mengambil alih gelas kopi dari tanganku, Angga siap mengelaborasi imajinasinya yang semakin liar Kopi favoritnya.

Ia melanjutkan, “Kopi Jawa Timur itu ‘nendang’! Sekali terasa, mata langsung membelalak dan jantung berdegup keras!”

“Wah, persis Dewi Persik Dong!” Lintang menyerobot.

“Pastinya! Goyangannya, Bung, bikin bulu kuduk berdiri, jantung serasa mau lepas, bener-bener deg-degan, hehehehe!” Aku betul-betul merem melek membayangkan aksi panggung Dewi Persik yang menggoncang syahwat para kaum adam.

Tanpa komando, Angga memotong, “Lebih tepatnya, Kopi Jawa Timur itu ‘Binal’!”

“Huahahahahaha!” Kami tertawa lepas. Masuk ke dunia imajinasi kami masing-masing. Dunia yang sangat pribadi, tempat segala hal menjadi mungkin.

Kulihat Lintang menerawang. Mungkin sedang membanyangkan Cut Tari datang padanya dengan setelan lingerie warna merah jambu. Seksi namun tetap manja. Pandangan dara Aceh yang sendu itu, membuat Lintang yang duduk mengangkang berkali-kali berganti posisi. Takut ketahuan reaksi naiknya kadar hormon testosteron yang merambat turun ke bawah perutnya.

Angga tak jauh beda. Kopi Jawa Timur favoritnya menjelaskan sisi gelap yang selama ini tertimbun rapi di alam bawah sadarnya. Yaitu obsesinya terhadap wanita ‘binal’. Memang hampir tak masuk akal. Angga memiliki wajah tipikal ustad-ustad yang biasa berceramah keliling dari desa ke desa. Dakwah menjadi jalan hidupnya. Tapi siapa nyana, selera manusia memang tak bisa ditebak. Mungkin di balik wajah es nya tersembunyi gejolak birahi yang siap meledak, Wallahu alam bi showab.

Tapi pernahkah kita berpikir bagaimana jika segelas kopi itu bisa bicara? Kira-kira apa yang akan ia katakan?

Mungkin ia akan komplain dan berkata bahwa kami adalah tiga orang paling sok tahu yang tak mengerti apa-apa soal kopi. Kopi tak pernah angkat bicara, tak pernah mengungkapkan sendiri jenis ‘rasa’nya. Bukan tidak mau, tapi memang tidak mampu. Ia tahu rasanya seperti Cut Tari, Dewi Persik, atau Aura Kasih dari tiga orang pandir yang terbatas pengetahuannya. Namun definisi itu melekat. Setidaknya bagi kami. Definisi itu kemudian menjadi identitas yang seumur hidup menempel pada segelas kopi panas.

Kasihan kopi. Tapi toh ia tak pernah protes. Jadi apapun yang kami katakan itu sah-sah saja.

Kemudian aku berpikir. Jangan-jangan manusia tak bedanya dengan segelas kopi yang diobrolkan tiga mahasiswa miskin disela-sela jam magang. Jangan-jangan kita juga tak bisa mengenal diri kita sendiri.

Kita butuh bantuan tes-tes psikologi di majalah hai atau kawanku untuk sekadar mengetahui apakah kita orang yang pemarah, ramah, atau pelit. Sebagian orang mengandalkan buku primbon dengan mencocokkan hari kelahiran untuk mengetahui jati diri dan garis nasibnya. Lebih parahnya, beberapa orang bodoh memanfaatkannya untuk lahan bisnis dengan membuka layanan SMS Primbon untuk umum, katanya dijamin manjur. Yang lain percaya pada ramalan bintang yang terbit rutin di tabloid gosip mingguan. Kita sama menyedihkannya dengan segelas kopi yang harus jadi korban khayalan-khayalan jorok kami bertiga.

Akhirnya aku kembali dari khayalanku. Kembali ke hari ini dimana kami ditemani segelas kopi toraja dan sebatang rokok. Kami masih termenung. Tapi saling tak tahu akan pikiran masing-masing.

Dan aku pun bertanya, “Jika kita yang jadi segelas kopi, dan kopi yang jadi kita, kira-kira apa yang akan ia katakan tentang kalian?”

Kami kembali terdiam. Mungkinkah Kopi bilang Ah, Angga sih gak jauh beda dengan Oma Irama, luarnya alim tapi doyan gadis muda binal kayak Angel Elga. Ketika kopi menengok Lintang, yang ini sih mirip Rizky The Titan, kelihatan kalem tapi tahunya tebar benih di mana-mana sampai kena Raja Singa. Jantungku berdegup keras ketika tiba saatnya kopi melirikku, kalau yang ini, mmm, agak sulit, mmm, memang sulit, kharismatik dan cerdas, Ah, ini dia, anak ini mirip Gugun Gondrong.

Aku Cuma bisa melongo. Sebuah peragaan Kemahatololan khayalan manusia.

Yogyakarta

Minggu, 16 November 2008.

diposting oleh Rangga Dian Fadhillah @ 05.28   0 Komentar