Begini Ceritanya (Part 1).....
“You are the universe... You’re the driver, not a passenger in life... and when you’re ready, you wont have to try ‘cause... You are the universe and there ain’t nothin’ you can’t do... If you conceive it, you can achieve it... That’s why i believe in you”
-The Brand New Heavies, You are the universe-
Halo, Salam kenal. Kalau biasanya sebuah cerita diawali dengan penggambaran karakter tokoh atau setting tempat, demi membuat perbedaan dan mendapat label ‘orisinil’, tulisan ini akan diawali perkenalan dengan si penulis cerita (Nah Lho!). Ini dimaksudkan menjadi model revolusi besar-besaran dalam dunia tulis menulis karena rata-rata penulis selalu diperkenalkan di halaman paling belakang dan ini jelas-jelas menghina eksistensi para penulis. Walhasil, kadang-kadang judul dan cerita novel lebih terkenal dari nama penulisnya (yang merasa tersindir harap maklum!).
Ehm, nama penulis cerita ini adalah Rangga Dian Fadillah, yang selalu merasa ejaan nama belakangnya salah menurut kaidah Bahasa Arab yang sesuai EYD (emang ada ya?). Seharusnya bukan ‘Fadillah’ tapi ‘Fadhillah’, namun apa daya karena kadung tercetak di akte kelahiran, KTP, SIM, Ijazah, dan setumpuk sertifikat si empunya nama akhirnya pasrah juga. Lagi pula ia nggak tega menyalahkan ayah bundanya yang bertahun-tahun melimpahkan kasih sayang (dan uang tentunya!) dalam membesarkannya.
Sehari-hari si penulis dipanggil ‘Rangga’. Oleh orang rumah dipanggil ‘Angga’, sama adik-adiknya dipanggil ‘Mas Angga’, dan sama tukang Mi Ayam di kampus biasa dipanggil, “Mas..mas..Mi Ayamnya yang kemarin belum bayar!” (Ups!).
Gayanya biasa, seperti kebanyakan anak muda awal 20-an. Suka pake celana jins dan sneakers (karena emang nggak punya sepatu dan celana yang lain). Untuk selera fashion, nggak ada yang spesial, apa saja yang sudah selesai dicuci dan disetrika sama mbah-nya langsung disikat tanpa tedeng aling-aling. Tapi, yah, namanya punya takdir ganteng pake baju apa juga enak dilihat (hehehe...sorry nih narsis!). Dan kemana-mana selalu bawa tas yang isinya net-book Axioo Pico 10 inch yang belum lunas kreditannya.
Tinggi badan 180 cm lebih sedikit, berat badan sedang turun ke angka 80 Kg, berat asli dirahasiakan tapi masih masuk definisi berat ideal menurut majalah Men’s Health. Kulit sawo matang kalau ikut klasifikasi pelajaran bahasa Indonesia kelas 3 SD, tapi cewek-cewek biasa menyebutnya ‘hitam manis’ (Sumpah ini nggak direkayasa sama sekali, bisa disurvey langsung kalau perlu panggil LSI). Otaknya biasa aja nggak terlalu menonjol karena IQ nya Cuma 119, rata-rata orang normal. Tapi karena hobi menenggelamkan diri dalam tumpukan ratusan buku di kamarnya, orang sering datang diskusi dan tanya ini itu sama dia. Status: In Relationship with....woman (ya, iyalah)!
Yup, cukup dengan si penulis. Kalo kebanyakan diceritain nanti dia besar kepala. lihat aja tuh, dia udah mulai melayang-layang nggak jelas. Jadi demi kepentingan seluruh umat manusia dan khalayak ramai terpaksa kita cut perkenalannya.
Sekarang kita masuk ke cerita. Sebagaimana menulis skripsi, pasti ada abstrak yang merangkum seluruh ide dalam satu paragraf pendek. Ini dia ringkasan ide dari cerita ini (ini sangat kondisional, sewaktu-waktu bisa berubah atau nyasar kemana-mana, jadi pembaca harap maklum):
“Cerita ini boleh dibilang masuk kategori genre roman metropolitan , hanya setting tempat bukan di Jakarta tapi Yogyakarta, kota eksotis yang menjadi besar karena mempertahankan kultur dan tradisinya. Bumbu-bumbu cinta pasti ada tapi tidak menjadi intinya. Cerita ini tentang kisah hidup, mimpi, penderitaan, dan persahabatan sekelompok mahasiswa dari perguruan tinggi yang berbeda yang sering mangkal di sebuah rumah yang dengan bangga mereka sebut ‘Kontrakan Cacat Asmara’. Mereka menyimpan asa untuk menjadi ‘manusia’ menurut konsepsi mereka. Inilah intinya ‘menjadi manusia menurut definisi mereka’. Karena manusia tak sama, perbedaan adalah anugrah terindah yang harus kita jaga kelestariannya. Menjadi berbeda bukan dosa, hanya kadang orang keburu mengadili sebelum sempat memahami.”
Nah, untuk bikin kalian tambah penasaran, si penulis memutuskan untuk menyudahi Begini Ceritanya (Part 1). Dan nantikan episode kedua di mana semua kisah menapaki pijakan awal mula dan mengikat mereka yang berada di dalamnya dalam simpul-simpul imajiner tak kasat mata. Kisah berkelindan membentuk nebula yang belum jelas akan terbentuk menjadi apa. Bisa jadi nebula itu menjadi kumpulan bintang yang bersinar indah memancarkan warna menghibur hati-hati yang sedang dirundung gelisah, tapi bukan tak mungkin mereka saling bertumbuk dan membuat Ledakan Besar versi ke-II, menghancurkan semua, menyisakan ketiadaan. Biarlah semesta memandu jalannya cerita kemana dan kapan ia harus berakhir. Karena mereka selalu percaya, takdir adalah hal terbaik yang pernah diciptakan Tuhan untuk umat manusia.
To be continued....
Yogyakrta, 17 Juni 2009
-The Brand New Heavies, You are the universe-
Halo, Salam kenal. Kalau biasanya sebuah cerita diawali dengan penggambaran karakter tokoh atau setting tempat, demi membuat perbedaan dan mendapat label ‘orisinil’, tulisan ini akan diawali perkenalan dengan si penulis cerita (Nah Lho!). Ini dimaksudkan menjadi model revolusi besar-besaran dalam dunia tulis menulis karena rata-rata penulis selalu diperkenalkan di halaman paling belakang dan ini jelas-jelas menghina eksistensi para penulis. Walhasil, kadang-kadang judul dan cerita novel lebih terkenal dari nama penulisnya (yang merasa tersindir harap maklum!).
Ehm, nama penulis cerita ini adalah Rangga Dian Fadillah, yang selalu merasa ejaan nama belakangnya salah menurut kaidah Bahasa Arab yang sesuai EYD (emang ada ya?). Seharusnya bukan ‘Fadillah’ tapi ‘Fadhillah’, namun apa daya karena kadung tercetak di akte kelahiran, KTP, SIM, Ijazah, dan setumpuk sertifikat si empunya nama akhirnya pasrah juga. Lagi pula ia nggak tega menyalahkan ayah bundanya yang bertahun-tahun melimpahkan kasih sayang (dan uang tentunya!) dalam membesarkannya.
Sehari-hari si penulis dipanggil ‘Rangga’. Oleh orang rumah dipanggil ‘Angga’, sama adik-adiknya dipanggil ‘Mas Angga’, dan sama tukang Mi Ayam di kampus biasa dipanggil, “Mas..mas..Mi Ayamnya yang kemarin belum bayar!” (Ups!).
Gayanya biasa, seperti kebanyakan anak muda awal 20-an. Suka pake celana jins dan sneakers (karena emang nggak punya sepatu dan celana yang lain). Untuk selera fashion, nggak ada yang spesial, apa saja yang sudah selesai dicuci dan disetrika sama mbah-nya langsung disikat tanpa tedeng aling-aling. Tapi, yah, namanya punya takdir ganteng pake baju apa juga enak dilihat (hehehe...sorry nih narsis!). Dan kemana-mana selalu bawa tas yang isinya net-book Axioo Pico 10 inch yang belum lunas kreditannya.
Tinggi badan 180 cm lebih sedikit, berat badan sedang turun ke angka 80 Kg, berat asli dirahasiakan tapi masih masuk definisi berat ideal menurut majalah Men’s Health. Kulit sawo matang kalau ikut klasifikasi pelajaran bahasa Indonesia kelas 3 SD, tapi cewek-cewek biasa menyebutnya ‘hitam manis’ (Sumpah ini nggak direkayasa sama sekali, bisa disurvey langsung kalau perlu panggil LSI). Otaknya biasa aja nggak terlalu menonjol karena IQ nya Cuma 119, rata-rata orang normal. Tapi karena hobi menenggelamkan diri dalam tumpukan ratusan buku di kamarnya, orang sering datang diskusi dan tanya ini itu sama dia. Status: In Relationship with....woman (ya, iyalah)!
Yup, cukup dengan si penulis. Kalo kebanyakan diceritain nanti dia besar kepala. lihat aja tuh, dia udah mulai melayang-layang nggak jelas. Jadi demi kepentingan seluruh umat manusia dan khalayak ramai terpaksa kita cut perkenalannya.
Sekarang kita masuk ke cerita. Sebagaimana menulis skripsi, pasti ada abstrak yang merangkum seluruh ide dalam satu paragraf pendek. Ini dia ringkasan ide dari cerita ini (ini sangat kondisional, sewaktu-waktu bisa berubah atau nyasar kemana-mana, jadi pembaca harap maklum):
“Cerita ini boleh dibilang masuk kategori genre roman metropolitan , hanya setting tempat bukan di Jakarta tapi Yogyakarta, kota eksotis yang menjadi besar karena mempertahankan kultur dan tradisinya. Bumbu-bumbu cinta pasti ada tapi tidak menjadi intinya. Cerita ini tentang kisah hidup, mimpi, penderitaan, dan persahabatan sekelompok mahasiswa dari perguruan tinggi yang berbeda yang sering mangkal di sebuah rumah yang dengan bangga mereka sebut ‘Kontrakan Cacat Asmara’. Mereka menyimpan asa untuk menjadi ‘manusia’ menurut konsepsi mereka. Inilah intinya ‘menjadi manusia menurut definisi mereka’. Karena manusia tak sama, perbedaan adalah anugrah terindah yang harus kita jaga kelestariannya. Menjadi berbeda bukan dosa, hanya kadang orang keburu mengadili sebelum sempat memahami.”
Nah, untuk bikin kalian tambah penasaran, si penulis memutuskan untuk menyudahi Begini Ceritanya (Part 1). Dan nantikan episode kedua di mana semua kisah menapaki pijakan awal mula dan mengikat mereka yang berada di dalamnya dalam simpul-simpul imajiner tak kasat mata. Kisah berkelindan membentuk nebula yang belum jelas akan terbentuk menjadi apa. Bisa jadi nebula itu menjadi kumpulan bintang yang bersinar indah memancarkan warna menghibur hati-hati yang sedang dirundung gelisah, tapi bukan tak mungkin mereka saling bertumbuk dan membuat Ledakan Besar versi ke-II, menghancurkan semua, menyisakan ketiadaan. Biarlah semesta memandu jalannya cerita kemana dan kapan ia harus berakhir. Karena mereka selalu percaya, takdir adalah hal terbaik yang pernah diciptakan Tuhan untuk umat manusia.
To be continued....
Yogyakrta, 17 Juni 2009
Label: Begini Ceritanya
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda